Sabtu, 28 Maret 2009

KEDUDUKAN WANITA DALAM AGAMA HINDU ANTARA NORMATIF DAN REALITAS

KEDUDUKAN PEREMPUAN BALI

Oleh: Dra. I.A. Tary Puspa, S.Ag. M.Par.


Wanita mempunyai peran penting dalam sejarah peradaban. Banyak tokoh-tokoh dunia berhasil dalam karir kepemimpinannya karena wanita berada di belakangnya yang mampu memberikan inspirasi maupun spirit.Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memberikan penghargaan yang besar kepada wanita. Masyarakat melakukan pemujaan kepada Dewi yang dapat membantu kehidupan manusia di dunia ini seperti Dewi Sri, Dewi Saraswati, dan Dewi Sri Sedana. Tugas yang dilakukan para Dewi itu adalah sama dengan Dewa sesuai manifestasinya. Tidak ada upacara keagamaan yang tidak melibatkan wanita. Hal tersebut menyiratkan bahwa wanita mempunyai peran di dunia ini baik peran domestik sebagai ibu rumah tangga maupun peran publik sebagai orang yang bekerja di luar rumah. Tugas-tugas domestik memang berat, tetapi luhur dan mulia karena disanalah terletak nasib anak, keluarga, dan bangsa. Di dalam kitab suci Veda disebutkan bahwa kaum wanita harus dilindungi dalam berbagai dimesi kehidupan. Pada masa kanak-kanak wanita dilindungi oleh ayahnya, pada masa dewasa oleh suaminya, dan pada masa tua oleh putranya. Hal ini bukan menandakan wanita itu lemah. Wanita memiliki sifat-sifat feminisme yang dianugerahkan alam kepadanya dan secara adi kodrati wanita memiliki 5m yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan manepouse serta jiwanya yang halus lembut mampu melaksanakan tugas pengasuhan, pendidikan, kasih sayang, cinta kasih, kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan. Dalam memasuki era globalisasi ini semakin banyak wanita yang bekerja di sektor publik selain untuk mendapatkan finansial adalah akibat kemajuan pendidikan sehingga mereka mengimplementasikan ilmu yang didapatkan dalam langkah aktualisasi yang nyata. Disini akhirnya wanita berperan ganda di satu sisi wanita harus mampu mengemban tugas domestik dan di sisi yang lain juga harus melakoni tugas publik. Kedudukan wanita di dalam agama Hindu yang begitu terhormat secara normatif harus diterima secara realitas yang penuh kendala karena budaya ataupun adat istiadat setempat yang kadang membatasi gerak langkah wanita


Kedudukan Wanita dalam Agama Hindu

Kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh terhormat. Wanita merupakan benteng terakhir moralitas. Apabila moralitas wanita merosot, akan merosot pula moral keturunannya. Hal ini dinyatakan dalam Bhagawad gita I.40: adharmabhibavat krsna pradusyanti kula striyah strisu dustasu varsneya, jayate varna-sankarah. Artinya “ O, Krisnha, apabila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela dalam keluarga, kaum wanita dalam keluarga ternoda, dan dengan merosotnya kaum wanita, lahirlah keturunan yang tidak diinginkan, wahai putra keluarga Vrsni”.

Manawa Dharma Sastra III.55-58 menguraikan standar peraturan keluarga yang mengharuskan menghormati wanita disertai konsekuensi yang akan terjadi kalau peraturan itu tidak dipatuhi.

Pitrrbhir bhratrbhis, caitah patibhir devaraistatha

Pujya bhusayita vyasca, bahu kalyanmipsubhih

Artinya: “ Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri” (55).

Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah

Yatraitastu na pujyante, sarvastalah kriyah

Artinya: “ Dimana wanita dihormati, disanalah dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala” (56).

Sosanti jamayo yatra, vinasyatyasu tatkulam

Na sosanti tu yatraita, vardhate taddhi sarvada.

Artinya: “ Dimana warga wanitanya hidup di dalam kesedihan, kelurga itu akan cepat hancur. Tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia” (57).

Jamayo hani gehani, sapyantya patri pujitah

Tani krtyahataneva, vinasyanti samantarah.

Artinya: “ Rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib” (58).

Rsi Canakya mengatakan dalam Canakya Nitisastra 17.7 : na matur daivatam param, artinya” tidak ada dewa yang lebih patut dihormati daripada seorang ibu.

Dalam Veda disebutkan bahwa Tuhan bersabda “Wanita aku turunkan untuk menjadi ibu dan laki-laki aku turunkan untuk menjadi Bapak”. Dengan demikian, maka wanita memilikikedudukan sebagai ibu sebagai sebuah kedudukan yang terhormat karena hal itu mengalir dengan sendirinya sesuai kecenderungan sifat-sifat alam dan orang-orang suci.

Menurut pandangan ajaran Hindu wanita dan pria sama-sama diciptakan oleh Sang Hyang Widi, jadi wanita bukan dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. Hal tersebut sesuai yang termuat di dalam Manawa Dharmasastra I.32 dinyatakan bahwa wanita dan laki-laki sama-sama ciptaan Tuhan.

Dalam berkehidupan di masyarakat tidak jarang dilontarkan bahwa wanita tidak akan pernah mencapai pembebasan karena hidupnya selalu dilindungi laki-laki, ini menandakan bahwa wanita adalah mahluk yang lemah. Akan tetapi di dalam Bhagawad gita IX.37 disebutkan mam hi partha vyaparisritya ye pi syuh papa- yonayah, striyo vasyas tatha sudra te `pi tanti param gatim. Artinya “ wahai putra Pritha, orang yang berlindung kepada-Ku walaupun mereka dlahirkan dalam keadaan yang lebih rendah, atau wanita, vaisya (pedagang) dan sudra (buruh)- semua dapat mencapai tujuan tertinggi.

Bhagavata Purana menyebutkan: Draupadi ca tadajnaya, patinam anapeksatam, vasudeve bhagavati, hy ekanta-matir apa tam.Artinya “ Draupadi juga melihat bahwa para suaminya pergi meninggalkan istana tanpa peduli akan dirinya. Draupadi tahu benar tentang Sri Visnu, Krisnha, personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Baik ia sendiri maupun Subhadra menjadi khusuk dalam berpikir tentang Krisnha dan mencapai hasil yang sama seperti ang dicapai suami-suami mereka. Hal ini mnandakan bahwa apa yag cipaai suami bisa pula direngkuh ole hang istri. Jadi demi menjaga kedudukan wanita yang terhormat, maka wanita harus berada dalam perlindungan.

Wanita adalah salah satu yang harus dilindungi jika terjadi perang seperti yang termuat dalam Vasistha Danur Veda 6 “ mereka yang menyelamatkan kaum Brahmana, sapi, wanita, dan anak-anak dengan mengorbankan dirinya pasti akan mencapai moksa atau kebahagiaan abadi.

Uraian-uraian di atas mengungkapkan bahwa wanita memiliki kedudukan sangat terhormat atau mulia di dalam Agama Hindu, tetapi bagaimana kenyataannya di masyarakat?

Tugas Ganda (Domestik dan Produktif)

Dalam era globalisasi ini tugas-tugas wanita semakin berat karena harus mampu mengemban tugas domestik sekaligus tugas produktif (public). Dalam mengemban tugas domestik wanita menerima pekerjaan itu sebagai sebuah karma yang harus dijalani dan berusaha berbuat sesuatu untuk memperbaiki karma berikutnya untuk dirinya dan keluarganya. Wanita yang sudah menikah akan mencurahkan perhatian pada suami dan anak-anaknya sedangkan yang belum menikah akan mencurahkan perhatiannya untuk keluarganya.. Dalam urusan domestik ini wanita selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga melaksanakan peran dalam pendidikan bagi anaknya., tidak jarang justru para bintang kelas biasanya diboyong oleh murid-murid wanita. Dalam hal ini wanita juga diharapkan mampu menempatkan diri sesuai usia putra-putrinya karena sejalan dengan bertambahnya usia dan matangnya pribadi, wanita dalam hal ini ibu harus mampu menempatkan diri setingkat remaja kalau anaknya memasuki usia remaja. Dengan demikian akan terjalin suatu komunikasi yang efektif karena seorang ibu mampu melakukan empati yaitu menjadi teman untuk anaknya sendiri.

Sebagai seorang istri, maka wanita dalam rumah tangga menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarganya. Kata Istri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari akar kata “str” yang artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita berasal dari bahasa Sanseketa “Van” artinya to be love (yang dikasihi). Dalam Mahabarata Resi Bisma mengatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta kebahagiaan. Oleh karena itu Rahwana yang menculik Dewi Sita dan Duryudana yang menghina Dewi Drupadi keduanya menjadi raja terhina.

Dalam kehidupan rumah tangga, ibu rumah tangga yang disebut Pitri matta harus dilaksanakan oleh wanita selain sebagai istri yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Dalam penyelenggaraan upacara yadnya, juga menjadi tanggung jawab dalam penyelenggaraannya di samping sebagai pelanjut keturunan.

Wanita dalam tugas di sektor produktif (public) atau berkarir selain karena faktor ekonomi untuk finansial adalah juga karena emasipasi menyebabkan wanita telah dapat mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Mereka ingin menginplementasikan ilmu yang didapatkan di dunia pendidikan dengan jalan menjalankan swadarmanya. Menurut Manawa Dharmasastra IX. 29 dalam berkarir wanita dapat memilih sebagai Sadwi atau sebagai Brahmawadini. Jikalau sebagai Sadwi artinya wanita memilih berkarir dalam rumah tangga (pekerjaan domestik) sebagai pendidik putra-putrinya dan sebagai pendamping suami. Seandainya yang dilakoni adalah sebagai Brahmawadini, maka ini berarti wanita memilih berkarir di luar rumah seperti menjadi guru/dosen, dokter, anggota legislatif, birokrat, dan bidang lainnya.

Peran ganda ini harus dijalani oleh wanita walau terasa berat, tetapi dunia tetap menanamkan harapan kepada wanita untuk bisa melahirkan dan membina generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas dan semestinya wanita dihargai karena mampu melakoni tugas ganda tersebut, bukan kekerasan yang harus diterima seperti yang sering terjadi dalam sebuah rumah tangga.

Menciptakan Keseimbangan dengan Reposisi Peran

Wanita dan laki-laki yang sudah hidup bersama untuk menyukseskan swadharma grahasta asrama berusaha membina putra menjadi suputra dan bersama-sama mengabdi untuk jagat . Perbedaan laki-laki dan wanita hanyalah pada swadarmanya. Namun perbedaan itu saling melengkapi. Kalau perbedaan itu saling disinergikan, maka berbagai kewajiban hidup ini justru akan terselenggara mernjadi lebih baik. Untuk menyukseskan swadarma wanita yang berat ini tentunya semua pihak wajib menciptakan iklim kondusif yang dapat memberikan kekuatan pada wanita untuk menghadapi tantangan hidup ke depan yang semakin kompleks. Sebagai wanita seyogyanya dapat menyeimbangkan tugas ganda tesebut atau dengan reposisi peran. Dalam reposisi peran ini tidak semua pekerjaan domestik dilakukan oleh wanita, tetapi pekerjaan itu dapat dilakukan oleh anggota keluarga yang lain. Di samping itu wanita harus tetap memperlihatkan sifat-sifat feminismenya karena Tuhan telah menganugerahkan wanita sifat-sifat itu untuk menjaga keseimbangan hubungannya dengan laki-laki. Dengan sifat yang teduh, tenang, kelembutan, kasih sayang, dan kesabaran. Merujuk pada Manawa Dharmasastra IX. 45 bahwa suami istri itu adalah sejajar dan tunggal. Keseimbangan peran laki-laki dan wanita bukan hanya dari segi finansial, tetapi juga dalam bidang pendidikan dan menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. Laki-laki bukanlah saingan, tetapi mitra kerja baik dalam rumah tangga maupun dalam karir.Melahirkan putra-putri, memelihara yang lahir dengan sebaik-baiknya, berlanjutnya peredaran dunia, wanitalah yang menjadi sumbernya (Manawa Dharmasastra IX.27

Penutup

Kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh mulia dan terhormat. Sebagaimana yang termuat di dalam Veda, Kitab Manawa Dharmasastra, maupun Bhagawad Gita menggambarkan tentang wanita sebagai benteng terakhir moralitas, wanita harus disayangi, dimana wanita dihormati, disanalah Dewa-dewa merasa senang, dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, wanita diturunkan menjadi ibu, dan laki-laki diturunkan menjadi Bapak. Untuk menjaga keudukan wanita yang terhormat ia harus mendapat perlindungan baik oleh ayahnya semasa aanak-anak, oleh suaminya di kala masa mudanya, dan oleh putra-putranya di masa tua.

Secara normatif sesuai kitab suci memang kedudukan wanita sangat terhormat, tetapi bagaimana dalam realitasnya ? Dewasa ini wanita harus mampu berperan ganda di satu sisi peran domestik dan disi lain peran publik. Menghadapi peran ganda ini wanita harus mampu mensinergikan dengan suami maupun anggota keluarga lainnya agar sama-sama bisa berjalan seimbang dan harmonis dan wanita tidak kehilangan sifat-sifat feminismenya. Untuk itulah diperlukan reposisi peran.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan di Museum Antonio Blanco Ubud pada kunjungan Siswa Pelita Harapan Jakarta tanggal 15 Oktober 2008

Penulis adalah dosen fak. Brahma Widya IHDN Dps


Tidak ada komentar:

Posting Komentar