Sabtu, 03 Juli 2010

DILEMA PEREMPUAN DAN ADAT BALI

Oleh: Ida Ayu Tay Puspa

Perempuan dalam adat Bali selalu hangat untuk diperbincangkan karena banyak hal yang menyebabkan perempuan Bali menjadi subordinasi laki-laki. Dalam hal untuk mengambil pekerjaan domestik kala masyarakat Bali masih melakoni kegiatan agraris. Geertz pernah menggambarkan bagaimana susahnya menjadi perempuan Bali bila dibandingkan dengan menjadi laki-laki Bali. Dalam penelitiannya di Bali dia melihat perempuan Bali sangat sibuk menyiapkan makanan di dapur, mengasuh anak, mencuci, membuat banten ditambah ngoopin pada tetangga yang memilki hajatan, Bagaimana dengan laki-laki Bali yang hanya memiliki pekerjaan ke sawah ? Datang dari sawah sehabis menutup aliran air, laki-laki Bali masih dapat megecel/mebombong ayam dengan teman-temannya. Inilah akhirnya yang menimbulkan cock fighting. Itu adalah gambaran masa lalu saat sebagian besar masyarakat Bali melakoni kebudayaan agrarais. Bagaimana dengan kebudayaan industri sekarang ini? Kehidupan perempuan Bali tak jauh beda apalagi selain pekerjaan domestik, maka perempuan Bali juga melakoni peran publik. Inilah gambaran yang sering membuat perempuan Bali ada di persimpangan jalan. Oleh karena semua peran-peran itu harus dapat dilakoninya, bisakah tanpa sinergi dengan laki-laki . Untuk pekerjaan domestik masih bisa dengan reposisi peran, ya kalau kita tinggal di perkotaan, bagaimana dengan di desa? masih banyak yang mengganggap kalau terjadi reposisi peran, maka sang suami kena tangkeb istrinya. Betapa pun semua orang tahu bahwa perempuan Bali adalah pekerja keras, adakah yang mereka terima sesuai pekerjaan yang dilakukan. Ternyata adat belum berpihak pada perempuan Bali karena budaya Bali mengenal sistem kekerabatan patrilineal atau purusa. Sesuai dengan sistem ini hampir seluruh tanggung jawab keluarga dan keturunannya berada di pundak purusa/laki-laki. Tanggung jawab dalam hal ini mengandung pengertian baik menyangkut kelangsungan hidup keluarga beserta keturunannya. dalam tanggung jawab ini termasuk pula pemeliharaan tempat pemujaan seperti pemerajan/sanggah dan pura. Ada pula tanggung jawab yang berkaitan dengan leluhur yang telah tiada, misalnya ngaben, nyekah, termasuk nuntun Dewa Hyang.

Tanggung jawab sosial harus pula dijalankan yaitu mekrama banjar dan mekrama desa atau menjadi anggota banjar dan desa. Konsekuensinya adalah setiap warga banjar memiliki kewajiban yang telah ditetapkan bersama terutama masalah Ketuhanan dan kemasyarakatan. Apakah perempuan Bali tidak menjalankan kewajiban itu? Perempuan Bali menjalaninya sepanjang dia masih menjadi daa/bajang (belum kawin), kewajibannya hampir sama dengan laki-laki. Oleh karena itu sebenarnya perempuan Bali pun berhak untuk mewaris. Hanya saja apabila perempuan Bali melepas daanya, maka hak mewaris itu gugur padahal andilnya demikian besar sepanjang mereka menjadi daa baik itu tanggung jawab moral, sosial tak jarang pula tanggung jawab ekonomi. Disinilah letak ketidak adilan itu. Seiring kemajuan dengan mencuatnya keadilan dan kesetaraan gender, maka atas persetujuan dengan anak laki-laki dalam sebuah keluarga, orang tua dapat memberikan jiwa dana/hibah kepada anak perempuannya. Kalau anak perempuan itu kemudian kawin jiwa dana itu akan dibawa ke rumah suaminya. Inilah yang disebut bekel nganten dan itu sepenuhnya menjadi kekuasaan si perempuan. Kalau tidak digabungkan dengan harta suaminya, maka seandainya terjadi perceraian, si perempuan/istri berhak untuk membawa jiwa dananya kembali ke rumah tuanya. Tak seorang pun yang boleh melarangnya.

Dalam hal kewajiban sosial termasuk kewajiban secara finansial perempuan Bali kini yang sudah melakoni peran ganda, tidak terlepas dari kewajiban untuk ngayah maupun ngoopin ke sesama warga banjar. Dengan demikian sebenarnya kita sebagai orang Bali sedang bertamasya ke masa lalu, meminjam istilah Baudrilard yaitu “simulacrum”. Bagaimana kita yang sedang bekerja di sektor publik mesti pula pada saat yang sama ngayah atau ngoopin? Inilah sebuah dilema yang dihadapi perempun Bali. Yang menguntungkan adalah menjadi krama tamiu karena di desa asal tetap terdaftar sebagai warga pakraman sedangkan di tempat yang baru hanya terdaftar saja di banjar/desa dinas. Dengan demikian, maka solusi yang diberikan oleh desa asal hanya dengan membayar iuran. Yang apes adalah krama yang bekerja di sektor publik dan bertempat tinggal di desa pakraman tersebut. Kepada mereka tidak diperkenankan hanya membayar iuran saja melainkan harus melakukan kewajiban sesuai warga setempat. Hal inilah terkadang menimbulkan ketidak adilan bagi krama. Memang masing-masing desa pakraman memiliki awig-awig sendiri, tetapi hendanya yang manusiawi karena zaman telah berubah. Solusi bisa diambil dengan tetap krama ngayah atau ngoopin misalnya dengan pengaturan waktu, seperti kegiatan ngayah atau ngoopin dilakukan pada pukul 06.00-07.00. Dengan demikain krama yang bekerja di sektor publik akan tenang dalam melakoni peran publiknya. Beban yang dirasakan krama juga pada pesu-pesuan yang harus dikeluarkan krama misalnya iuran banjar, iuran odalan di pura kahyangan tiga yang dalam setahun mengeluarkan iuran sebanyak 6 kali kalau odalan 1 pura adalah setiap enam bulan. Dalam hal ini desa pakraman seyogyanya dapat membantu warganya agar tidak membayar iuran toh setiap 1 tahun mendapatkan kucuran dana dari pemerintah yang terbilang tidak sedikit dan tak jarang Desa pakraman pun mendapat pasokan dari LPD setempat. Hanya terkadang kama/hasrat manuia kerap merajuk karena sebuah pura yang masih dalam keadaan bagus direnovasi sehingga akan membutuhkan biaya termasuk upacara pemlaspas dan mupuk pedagingan. Tentu hal ini akan menambah pengeluaran krama karena pasti akan ada iuran yang harus dibayarkan sehubungan dengan hal itu. Oleh karena itu itu hendaknya dalam menetapkan suatu keputusan selalu dimusyawarahkan dengan matang dan dewasa tidak dengan suryak siu sehingga hasil yang didapatkan akan menimbulkan paras paros, pekedek pekenyung bukan membuat krama terutama. perempuannya merasakan sebagai krama yang terbebani.

LANGKAH STRATEGIS SISWA HINDU DALAM MENYIKAPI PERSAINGAN GLOBAL

LANGKAH STRATEGIS SISWA HINDU DALAM MENYIKAPI PERSAINGAN GLOBAL

Oleh Ida Ayu Tary Puspa

Pengantar

Siswa Hindu atau Generasi muda adalah generasi penentu nasib bangsa ke depan. Agar dapat membawa bangsa ini ke arah kemajuan baik dalam fisik maupun mental spiritual, maka generasi muda Hindu harus berperan aktif mengisi pembangunan. Pembangunan pada dasarnya ditujukan untuk mensejahterakan dan meningkatkan kualitas masyarakatnya. Menjadi sebuah kewajiban bagi Siswa Hindu atau generasi muda mengisi kehidupan dengan belajar karena di masa muda inilah mereka dapat melakukan fase brahmacari dan hidup selalu memburu dharma.

Pembahasan

Masa menuntut ilmu atau menjadi siswa adalah masa yang sangat penting dan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya seperti diamanatkan Kitab Suci Sarasamuccaya berikut:

Yuvaiva dharmmamanvicched yuva vittam yuva srutam

Tiryyagbhavati vai dharbha utpatam na ca viddyati

(SS:27)

Artinya:

Karenanya perilaku seseorang hendaklah digunakan sebaik-baiknya pada masa muda, selagi badan sedang kuatnya hendaklah dipergunakan untuk masa menuntut dharma, artha, dan ilmu pengetahuan sebab tidak sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak-anak muda. Contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah dan ujungnya tidak tajam lagi

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan pada Pesamuan Agung Gerakan Siswa Hindu di Denpasar tanggal 21 Oktober 2009.

Penulis adalah Pengurus Harian PHDI Bali, Sekretaris Nayaka MUDP Bali, Pengurus WHDI Bali, Dosen IHDN Dps.

Sloka tersebut merupakan suatu peringatan kepada generasi muda agar menggunakan masa muda dengan sebaik-baiknya. Saat mudalah waktu terbaik untuk belajar dan melakukan sadhana spiritual (disiplin rohani) bukan pada masa tua.. Anak muda memiliki kejernihan pikiran dan daya nalar, kesehatan yang sangat prima serta intelek yang tajam. Akan tetapi kalau segala potensi itu jika disia-siakan dengan melakukan perbuatan buruk dan melayani keinginan indriya (nafsu), maka setelah tua sangat sukar utuk memurnikan pikiran apalagi menjadi orang baik sebab proses pembentukan karakter terjadi saat muda./ Pada waktu muda hendaknya melakukan disiplin spiritual seperti sembahyang, berdoa, melakukan Puja Tri Sandhya, meditasi, kirtanam, niscaya jalan untuk mencapai kebijaksanaan hidup terang /tenang akan mudah didapatkan.

Masa muda adalah masa menuntut ilmu sesuai dengan fase dalam Catur Ashrama yaitu Brahmacari, maka sebagai siswa/sisya lakukanlah swadharma dengan baik. Bergaul denga oranf suci dan bijaksana. Uraia dalam Manawa Dharmasastra menyuratkan sebagai berikut:

Matru Deva Bhavo

Pitru Deva Bhavo

Acharya Deva Bavo

Artinya:

Hormatilah ibu, ayah, dan guru sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi

Perlakukanlah ayah, ibu, guru dengan penuh rasa hormat, dalam Mahabarata dosebutkan siswa yang menghormati gurunya akan dihormati dunia.

Memang sangat sulit untuk menjadi generasi muda yang baik di tengah dunia yang penuh dengan keburukan apalagi dal;am persaingan di era global. Era global ditandai dengan budaya konsumerisme, materialisme, individualisme, dan citraisme. Untuk mendapatkan informasi kurang baik sangat mudah. Akan tetapi informasi yang baik juga mudah didapatkan dengan cara terus memburu dan mencarinya. Semuanya ada dalam diri kita masing-masing. Komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication) sangat baik dilakukan untuk introspeksi diri yang akan memperkokoh karakter moral spiritual.

Ada langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan Siswa Hindu atau generasi muda Hindu kalau ingin sukses menjalani kehidupan dalam persaingan global seperti::

-Pergunakan seluruh potensi otak, pikiran, dan tubuh dan panca indra dalam belajar. Sebenarnya belajar bukan sekedar mengandalkan otak semata, tetapi pemikiran dan kecerdasan menyebar ke seluruh tubuh.

-Hidup adalah proses belajar yang panjang dan menyenangkan. Seluruh hidup kita ini merupakan rangkaian pemujaan.

Berpikir positif dan besar. Ini adalah kunci sukses orang-orang besar. Jangan memberi peluang pada pikiran-pikiran yang picik dan negative karena akan sangat mengganggu proses belajar. Jangan berprasangka buruk baik itu pada guru, teman, maupun orang lain

-Kitab suci atau guru spiritual menyarankan untuk selalu mengucapkan OM dengan penuh keyakinan, kesungguhan, intuisi dan cinta sebelum dan sesudah belajar. Hal ini akan membuat diri kita bertambah cerdasm bersahaja, dan menarik

-Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan rileks. Keceriaan merupakan hal yang terpancar daari dalam diri dan merupakan hal yang sangat penting dalam belajar. Ruangan belajar yang representatif dan nyaman juga akan mendukung suasana belajar yang menyenangkan.

-Jaga kesehatan dengan rajin beryoga termasuk pula dalam hal ini adalah mengkonsumsi makanan yang memberi energi pada gerak langkah yang aktif, dll

Catur Purusa Artha dan Catur Asrama

Catur Purusa Artha adalah empat tujuan hidup manusia dalam upaya mencapai kagadita dan moksa. Dalam kitab Brahmana Purana 228.15 ada disebutkan sebagai berikut:

Dharmarthakamamoksanam sariram sadhanam

Artinya:

Tubuh adalah alat untuk mendapatkan dharma, artha, kama, dan moksa

Dalam kita Sarasamuccaya disebutkan sebagai berikut:

Dharma caste ca kame ca moksa ca barathasabda yadihasti tadanya tra yanne hasti an tat kvacit

Artinya:

Anak Jayamejaya segala ajaran tentang satur warga (dharma, artha, kama, dan moksa) baik sumber maupun uraian arti dan tafsirannya ada terdapat di sini. Singkatnya segala yang terdapat di sini akan terdapat dalam sastra lain yang tidak terdapat di sini tidak akan terdapat dalam sastra lain dari sastra ini.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia harus menyadari apa yang harus dicari denga badan yang dimilikinya semuanya tak lain adalah dharma, artha, kama, dan moksa.

Dharma berarti sesuatu yang dapat mengatur atau memelihara dunia beserta isinya. Hal ini dapat pula berarti ajaran suci yang mengatur umat manusia untuk memperoleh kesejahteraan rohani. Dharma berarti pula hokum yang mngatur perbuatan manusia agar terbebas dari dosa untuk mencapai kebebasan lahir batin sehingga Dharma pun berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban masyarakat.

Artha sesuai dalam naskah Silakrama berarti harta benda material, anak, istri, ilmu pengetahuan, dan kesenian. Akan tetapi dalam tujuan hidup yaitu dalam Catur Purusartha kata artha berarti benda atau kekayaan duniawi. Berdasarkan kegunaannya yang sesuai dengan ajaran agama artha dapat dibagi menjadi menjadi bhoga, uphaboga, dan paribogha.

Kama berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau ksejahteraan hidup,. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang meryupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia karena manusia mempunyai dasendriya.

Dalam kekawin Ramayana disebutkan bahwa kenikmatan (kama) hendaknya terletak dalam kemungkinan yang diberikan kepada orang lain untuk merasakan kenikmatan. Jadi pekerjaan yang bersifat ingin menguntungkan diri sendiri dalam memperoleh harta dan kenikmatan tidak dilaksnakan.

Moksa adalah tujuan terakhir yang tertinggi dari manusia. Moksa berarti kebebasan. Maksudnya adalah suatu kebahagiaan dimana atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan subha-asubha karma serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman.

Catur Asrama

Catur asrama adalah empat lapangan (fase) kehidupan berdasarkan petunjuk kerohanian. Catur asrama terdiri dari brahmacari, grahasta, wanaprasta, dan sanyasin.

Brahmacari adalah fase kehidupan bagi seseorang dalam berguru. Dalam istilah lain brahmacari disebut aguron-guron atau asewaka guru. Sistem brahmacari lebih menekankan pada pembentukan sikap mental manusia yang tanggih dan handal dengan berbagai disiplin ilmu dan ketrampilan,. Semua itu menjadikan manusia bisa hidup mandiri dan siap untuk menempuh kehidupan selanjutnya.

Grahast asrama adalah fase kehidupan setelah melewati kehidupan brahmacari yaitu membina rumah tangga. Dalam fase ini tanggung jawab begitu besar baik itu terhadap istri, anak, leluhur, orang tua, maupun masyarakat.

Wanaprastha asrama adalah kehidupan untuk mengasingkan diri dari kesibukan hidup yang bersifat duniawi dengan melalui usaha-usaha pengendalian diri untuk bisa melepaskan keterikatan belenggu duniawi. Pada fase kehidupan wanaprastha tanggung jawab terhadap keluarga dan kewajiban di masyarakat mulai ditinggalkan dan diambil alih oleh anak cucunya.

Sanyasin adalah fase kehidupan terakhir setelah melewati hidup wanaprastha. Pada fase ini aktivitas kehidupan sepenuhnya ditujuakan untuk mengabdikan diri pada manunggalnya atma dengan Paramatma dengan mengajarkan ajaran kebenaran.

Hubungan Catur Purusartha dengan Catur Asrama

Catur Purusartha dengan Catur Asrama merupakan dua disiplin hidup yang diajarkan dalam agama Hindu. Catur Purusartha adalah tujuannya sedangkan Catur Asrama adalah

Fase kehidupannya. Dharma adalah yang melandasinya. Fase brahmacari melandasi kehidupan dalam menegakkan Dharma. Fase grahasta lebih menekankan pada upaya pemenuhan untuk mendapatkan artha dan kama sedangkan fase Wanaprastha dan Sanyasin lebih menitikberatkan pada upaya untuk mencapai moksa.

Penutup

Generasi muda sebagai generasi penerus untuk meneruskan pembangunan memiliki kewajiban untuk mengisi diri dengan mempelajari ilmu pengetahuan yang dilakukan pada masa brahmacari yaitu dengan berlandaskan dharma. Sebagai generasi penerus, maka banyak hal yang dapat dilakukan agar hidup ini menjadi berarti tentu dengan aktivitas yang postif sehingga akan pula membentuk sikap,karakter, maupun kepribadian manusia Hindu yang inklusif.

Daftar Pustaka

Maswinara, I Wayan. 1999. Sistem Filsafat Hindu. Surabaya:Paramita.

Pudja, Gde. Pengantar Veda. Jakarta: Mayasari.

Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda. Surabaya: Paramita.

Sura, I Gde. 2000. Siwa Tattwa. Denpasar: Pemda Bali.

Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:Paramita.

Sabtu, 28 Maret 2009

KEMISKINAN DALAM PANDANGAN AGAMA HINDU

KEMISKINAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT/KEBUDAYAAN BALI DAN AGAMA


Oleh: Ida Ayu Tary Puspa

Na thwaham Kamaye Rajyam, Na Swargam napnu arbhawam kamaye Dukha thapthamam, Praninam aarrthi naasanam (Bhagawata Purana)

Artinya:

Ya Tuhan saya berdoa bukan untuk memohon kedudukan dalam kerajaan, bukan pula untuk memohon Sorga atau menjelma sebagai manusia yang hebat. Saya hanya memohon berikanlah saya kekuatan dan kesempatan untuk mengabdi pada mereka yang menderita.


Pengantar

Kemiskinan ada di sekitar kita dan menjadi masalah krusial negara-negara di dunia lebih-lebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi. Menurut Badan Pusat Statustik (BPS) sebanyak 16,7 % dari total penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi kemiskinan. Yang masuk dalam kategori itu adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari 1,55 dolar AS per hari atau setara dengan Rp 15.000.

Sebelumnya Bank Dunia melansir terdapat 108,79 juta orang atau 49 % dari total penduduk Indonesia berada dalam kondisi miskin dan rentan jadi miskin. Menurut Bank Dunia kalangan ini hidup kurang dari 2 dolar AS atau Rp 19.000 per hari. Akibat krisis global saat ini, angka kemiskinan dan pengangguran potensial naik.

Masyarakat Bali sebagai bagian masyarakat Indonesia juga mengalami hal yang sama.. Realitas ini perlu mendapat penanganan yang serius dari semua elemen masyarakat.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dalam mengentaskan kemiskinan sesuai amanat konstitusi UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jika pemerintah melalaikan masalah kemiskinan berarti pula pelanggaran terhadap konstitusi.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Penanggulangan kemiskinan menjadi keharusan bagi pemerintah karena melalui konferensi tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menghasilkan Deklarasi Milenium Development Goals (MDGs) untuk mencpai kesejahteraan penduduk tahun 2015.

MDGs telah menghasilkan delapan kesepakatan yang meliputi: (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar yang universal (pendidikan untuk semua), (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan erempuan, (4) mengurangi jumlah kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS dan penyakit lainnya, (7) menjamin kesehatan lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Muliawan, 2007). Dari delapan butir MDGs di atas, kemiskinan dan kelaparan termasuk gender dan pemberdayaan perempuan merupakan tantangan global untuk mengentaskannya termasuk untuk pemerintah Indonesia dan Bali.Pengentasan kemiskinan telah diupayakan baik oleh pemerintah Indonesia maupun Bali melalui Usaha Ekonomi Desa (UED), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (KUKESRA), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Itulah upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan terutama dari sisi ekonomi. Akan tetapi ternyata masyarakat Bali dengan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu pun tidak terlepas dari yang namanya kemiskinan baik itu kemiskinan struktural, kultural, dan rohani.


Kemiskinan dalam Masyarakat/Kebudayaan Bali dan Agama Hindu

Kemiskinan dapat didefinisikan secara luas maupun sempit. Dalam pengertian yang sederhana kemiskinan dapat diterangkan sebagai kurangnya pemilikan materi atau ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu dalam arti yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesempatan kerja dan, keterbatasan akses terhadap berbagai hal dan lain-lain.

Di Bali kehidupan antara agama Hindu dengan budaya setempat tampak bersinergi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Agama Hindu menempati posisi sebagai jiwa dan sumber nilai budaya Bali. Dinamika agama Hindu dan budaya Bali menelorkan berbagai nilai budaya dan kearifan lokal yang ditengarai mampu mengantasipasi dampak negatif globalisasi, utamanya di bidang moralitas, kemisikinan dan kebodohan, semakin berkurangnya lahan pertanian, dan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia Bali (Titib, 2006: 116).

Dewasa ini masyarakat dan kebudayaan Bali menghadapi tantangan globalisasi seperti yang dikemukakan Ardika (2005:18) dengan mengutip Appadurai dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (finanscape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Akibat sentuhan budaya global ini memunculkan terjadinya ketidakseimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi ) dan dislokasi hampir pada setiap lini kehidupan masyarakat.

Menurut Atmaja ( BP, 5 Juli 2006) bahwa ada perubahan besar dalam masyarakat Bali yakni dari masyarakat yang lebih menekankan pada kekayaan spiritual atau batiniah bergeser ke arah msyarakat yang lebih mengutamakan kekayaan materi atau lahiriah-homo hedonicus. Berkenaan dengan hal itu, maka orang yang dihargai dalam masyarakat bukan orang yang kaya secara batiniah atau mengembangkan pola hidup sederhana melainkan orang yang kaya secra materi sebagaimana tercermin pada benda-benda simbol; status sosial yang dimilikinya. Pendapat Atmaja tersebut berkenaan dengan pencurian pratima yang dilakukan oleh orang Hindu sendiri. Betapa telah terjadi kemisikinan rohani pada orang Hindu sendiri . Titib mengatakan bahwa telah terjadi kerapuhan moralitas (banalisasi) pada umat Hindu di Bali.

Orang yang miskin secara material dapat melakukan perbuatan yang menyimpang kalau ia memiliki mental yang lemah. Oleh karena kemiskinannya ia menjadi hidup tertekan dalam memenuhi kebutuhannya. Kitab Sarasamucaya berulang-ulang menyebutkan agar kemiskinan sedapat mungkin dihindari dengan jalan bekerja dan hidup lebih teratur. Dalam Sarasamucaya juga disebutkan bahwa yang dimaksud orang miskin adalah orang yang tidak pernah berdana punya, meskipun ia memiliki harta benda berlimpah ruah. Kemiskinan ini dapat digolongkan kemiskinan rohani.

Tidak ada sesuatu terjadi tanpa karma dan kehendak Tuhan. Ada beberapa sebab terjadinya kemiskinan diantaranya yang bersangkutan malas bekerja dan tidak punya ketrampilan serta wawasan. Kemiskinan ekonomi terjadi karena Sancita Karmapala, artinya kemungkinan penjelmaan terdahulu berbuat serakah. Tidak senang bekerja, tetapi loba sehingga dalam penjelamaan berikutnya menjadi miskin. Sifat kikir tidak pernah berdana punya dapat juga menimbulkan kemisikinan dalam penjelmaan berikutnya

Kemiskinan adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan itu adalah karma. Untuk mengubahnya hanya dengan karma juga. Timbulnya kemiskinan akibat dari karma buruk yang pernah dilakukan entah pada saat kehidupan sekarang atau pada kehidupan yang dulu. Kemiskinan yang dihadapi dengan pemahaman yang benar berdasarkan agama, tidak akan mendorong munculnya perbuatan adharma. Pemahaman ajaran karma pala dapat mendorong upaya-upaya melakukan karma baik berdasarkan jnana dan bhakti atau berdoa pada Tuhan.. Kemiskinan perlu dihadapi dengan kegiatan beragama yang lebih baik,

Swami Vivekananda menyatakan salah satu hal yang menjadikan akar semua kejahatan adalah kondisi orang yang miskin. Dalam kitab Sarasamucaya (280) dinyatakan bahwa orang miskin itu sama dengan orang mati seperti persembahan upakara tanpa daksina. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa betapa menderitanya bila orang miskin itu melakukan perbatan buruk dan dosa (281), apalagi orang misikin itu bodoh, miskin dan kelaparan yang menyebabkan orang meninggalkan dharma/kebajikan (291).


Kemiskinan karena Budaya Patriarki

Menurut I Nyoman Wijaya (dalam Putrawan, 2006: 11) sebenarnya telah terjadi keruntuhan budaya Bali yang salah satunya disebabkan karena kultur pareiarki yang juga merambah lingkungan politik, ekonomi termasuk agama juga disebabkan oleh budaya kapitalisme yang telah mencekoki sistem keyakinan beragama misalnya bergesernya konsep pemaknaan ajaran karmapala dari ide untuk mentransformasi diri digantikan dengan ritual megah, Tidak apa-apa melakukan tindak kejahatan yang bisa ditebus dengan upacara ngaben yang besar. Keruntuhan ini diperparah lagi dengan kelemahan orang Bali yaitu suka pamer. Dalam urusan ritual orang Bali masih kalah start dengan kompetiter lainnya. Penyebab lainnya karena tidak dipraktikkannya falsafah tapak dara atau swastika melakukan hubungan dengan . Konsep ini ideal untuk melakukan hubungan dengan Tuhan yang sepatutnya sebanding dengan waktu dan biaya layanan sosial kemanusiaan, dan lingkungan (Tri Hita Karana). Akan tetapi, ironisnya yang vertikal saja dipikirkan dan dilakukan sedangkan tindakan untuk sesama sangat kccil.

Wiana (2002:98) menambahkan tentang kemiskinan kasih sayang yang dimiliki manusia karena tidak mau memutar roda yadnya dengan adil. Sebagaimana Bhagawadgita III.16 mengajarkan agar manusia aktif memutar roda roda yadnya . Barang siapa yang tidak ikut memutar roda yadnya tersebut yang timbal balik itu sesungguhnya mereka itu adalah jahat. Untuk mengentaskan miskin perhatian dan miskin rasa keadilan pada nasib orang lain, maka dibutuhkan kepedulian dengan sesama sebagai perwujudan Tat twam asi.

Menurut Arjani ( 2007:25) pada masyarakat Bali yang senyatanya menganut sistem kekerabatan patrilinial, budaya patriarkinya masih sangat kental. Pada sistem kekerabatan seperti ini nilai anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan. Anak laki-laki yang karena kedudukannya sebagai pemikul dharma serta sebagai pewaris dan penerus keturunan (purusa) dalam keluarga, maka mereka akan merasa lebih superior dan berkuasa. Sementara itu perempuan ada pada posisi inperior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses perempuan terhadap berbagai sumber daya

Pendapat Arjani sesuai dengan Muhadjir (2005: 166) bahwa sumber permasalahan kemiskinan yang dihadapi perempuan terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin pada kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian akhirnya bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, eksploitasi, maupun kekerasan pada perempuan.

Kemiskinan perempuan di bidang pendidikan misalnya dapat dilihat dari tingkat pendidikan perempuan yang masih jauh lebih rendah daripada tingkat pendidikan laki-laki. Pada tahun 2005 angka buta huruf penduduk perempuan mencapai 5,47% sedangkan laki-laki hanya 1,62&. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor seperti adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur, perempuan tidak dinggap investasi keluarga karena setelah menikah akan menjadi milik orang lain (suaminya (Arjani, 2007:26).


Peran Negara dan Melaksanakan Dana Punya

Negara memiliki peran sangat penting dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Robert Chambers (1983) kemiskinan merupakan akibat dari pemusatan kekayaan dan kekuasaan. Pemusatan kekayaan dan kekuasaan memang merupakan sesuatu yang melekat dalam sistem politik dan ekonomi liberal. Hal itu bukan saja bertentangan pada konstitusi kita, tetapi juga bertentangan dengn ajaran Hindu. Oleh sebab itu untuk aspek strategis yang menyangkut hayat hidup orang banyak negara tetap harus menjamin bahwa kepentingan nasional dan rakyat secara keseluruhan benar-benar terlindungi

Selain negara berperan dalam mengentaskan kemiskinan, maka umat Hindu diharapkan untuk dapat melaksanakan danapunya terhadap sesama yang memerlukan. Dana punya adalah pemberian dengn tulus iklas sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran Dharma. Pemberian tersebut dapat berupa nasihat/wejangan atau petunjuk hidup, yang mampu mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik (Dharmadana), berupa pendidikan (Vidyadana), dan berupa harta benda (Arthadana) yang bertujuan untuk menolong atau menyelamatkan seseorang atau masyarakat.

Ajaran dana punya bertujuan untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan lahir batin yang akan mengantar manusia mencapai surga bahkan moksa. Jadi menurut hukum Hindu, ajaran dana punya ini wajib hukumnya, wajib dilaksanakan oleh setiap umat Hindu.

Ajaran dana punya dilandasi oleh ajaran tat twam asi , yang memandang setiap orang seperti diri kita sendiri yang memerlukan pertolongan, bantuan atau perlindungan untuk mewujudkn kebahagiaan hidup yang sejati seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda, ”Vasudhaivakutumbakam” semua mahluk adalah bersaudara. Berikut dikutipkan sloka tentang dana punya :


”Semoga kita dapat mengabdikan diri kita menjadi instrumen Tuhan yang Maha Esa dan dapat membagikan keberuntungan kita kepada orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan (Rgveda 1.15.8)


Hendaknya mereka memperoleh kekayaan dengan kejujuran dan dapat memberikan kekayaannya itu dengan kemurahan hati, mereka tentunya akan dihargai oleh masyarakat. Semogalah mereka tekun bekerja dan meyakini kerja itu sebagai bakti kepada Tuhan yang Maha Esa (Rgveda 1.15.9).


Penutup

Ajaran Hindu yang menjiwai kebudayaan Bali untuk peduli terhadap kaum miskin dan upaya terus menerus membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan merupakan ajaran yang sangat penting. Akan tetapi betapa pun kuatnya seruan untuk peduli kepada kaum miskin fungsi agama tetap sebagai seruan moral yang tidak mempunyai kekuatan memaksa. Hindu memang mewajibka dana punya, tetapi itu semua sebatas anjuran moral sehingga tidak berdampak signifikan jika tidak ditopang oleh sistem ekonomi dan sosial yang memihak kepada kaum miskin.

Budaya patrarki yang dianut masyarakat Bali telah memunculkan kemiskinan pada perempuan bukan hanya dari sektor ekonomi, tetapi juga multidimensional seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan politik, informasi, kesehatan, dan lain-lain.


KEDUDUKAN WANITA DALAM AGAMA HINDU ANTARA NORMATIF DAN REALITAS

KEDUDUKAN PEREMPUAN BALI

Oleh: Dra. I.A. Tary Puspa, S.Ag. M.Par.


Wanita mempunyai peran penting dalam sejarah peradaban. Banyak tokoh-tokoh dunia berhasil dalam karir kepemimpinannya karena wanita berada di belakangnya yang mampu memberikan inspirasi maupun spirit.Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memberikan penghargaan yang besar kepada wanita. Masyarakat melakukan pemujaan kepada Dewi yang dapat membantu kehidupan manusia di dunia ini seperti Dewi Sri, Dewi Saraswati, dan Dewi Sri Sedana. Tugas yang dilakukan para Dewi itu adalah sama dengan Dewa sesuai manifestasinya. Tidak ada upacara keagamaan yang tidak melibatkan wanita. Hal tersebut menyiratkan bahwa wanita mempunyai peran di dunia ini baik peran domestik sebagai ibu rumah tangga maupun peran publik sebagai orang yang bekerja di luar rumah. Tugas-tugas domestik memang berat, tetapi luhur dan mulia karena disanalah terletak nasib anak, keluarga, dan bangsa. Di dalam kitab suci Veda disebutkan bahwa kaum wanita harus dilindungi dalam berbagai dimesi kehidupan. Pada masa kanak-kanak wanita dilindungi oleh ayahnya, pada masa dewasa oleh suaminya, dan pada masa tua oleh putranya. Hal ini bukan menandakan wanita itu lemah. Wanita memiliki sifat-sifat feminisme yang dianugerahkan alam kepadanya dan secara adi kodrati wanita memiliki 5m yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan manepouse serta jiwanya yang halus lembut mampu melaksanakan tugas pengasuhan, pendidikan, kasih sayang, cinta kasih, kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan. Dalam memasuki era globalisasi ini semakin banyak wanita yang bekerja di sektor publik selain untuk mendapatkan finansial adalah akibat kemajuan pendidikan sehingga mereka mengimplementasikan ilmu yang didapatkan dalam langkah aktualisasi yang nyata. Disini akhirnya wanita berperan ganda di satu sisi wanita harus mampu mengemban tugas domestik dan di sisi yang lain juga harus melakoni tugas publik. Kedudukan wanita di dalam agama Hindu yang begitu terhormat secara normatif harus diterima secara realitas yang penuh kendala karena budaya ataupun adat istiadat setempat yang kadang membatasi gerak langkah wanita


Kedudukan Wanita dalam Agama Hindu

Kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh terhormat. Wanita merupakan benteng terakhir moralitas. Apabila moralitas wanita merosot, akan merosot pula moral keturunannya. Hal ini dinyatakan dalam Bhagawad gita I.40: adharmabhibavat krsna pradusyanti kula striyah strisu dustasu varsneya, jayate varna-sankarah. Artinya “ O, Krisnha, apabila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela dalam keluarga, kaum wanita dalam keluarga ternoda, dan dengan merosotnya kaum wanita, lahirlah keturunan yang tidak diinginkan, wahai putra keluarga Vrsni”.

Manawa Dharma Sastra III.55-58 menguraikan standar peraturan keluarga yang mengharuskan menghormati wanita disertai konsekuensi yang akan terjadi kalau peraturan itu tidak dipatuhi.

Pitrrbhir bhratrbhis, caitah patibhir devaraistatha

Pujya bhusayita vyasca, bahu kalyanmipsubhih

Artinya: “ Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri” (55).

Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah

Yatraitastu na pujyante, sarvastalah kriyah

Artinya: “ Dimana wanita dihormati, disanalah dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala” (56).

Sosanti jamayo yatra, vinasyatyasu tatkulam

Na sosanti tu yatraita, vardhate taddhi sarvada.

Artinya: “ Dimana warga wanitanya hidup di dalam kesedihan, kelurga itu akan cepat hancur. Tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia” (57).

Jamayo hani gehani, sapyantya patri pujitah

Tani krtyahataneva, vinasyanti samantarah.

Artinya: “ Rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib” (58).

Rsi Canakya mengatakan dalam Canakya Nitisastra 17.7 : na matur daivatam param, artinya” tidak ada dewa yang lebih patut dihormati daripada seorang ibu.

Dalam Veda disebutkan bahwa Tuhan bersabda “Wanita aku turunkan untuk menjadi ibu dan laki-laki aku turunkan untuk menjadi Bapak”. Dengan demikian, maka wanita memilikikedudukan sebagai ibu sebagai sebuah kedudukan yang terhormat karena hal itu mengalir dengan sendirinya sesuai kecenderungan sifat-sifat alam dan orang-orang suci.

Menurut pandangan ajaran Hindu wanita dan pria sama-sama diciptakan oleh Sang Hyang Widi, jadi wanita bukan dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. Hal tersebut sesuai yang termuat di dalam Manawa Dharmasastra I.32 dinyatakan bahwa wanita dan laki-laki sama-sama ciptaan Tuhan.

Dalam berkehidupan di masyarakat tidak jarang dilontarkan bahwa wanita tidak akan pernah mencapai pembebasan karena hidupnya selalu dilindungi laki-laki, ini menandakan bahwa wanita adalah mahluk yang lemah. Akan tetapi di dalam Bhagawad gita IX.37 disebutkan mam hi partha vyaparisritya ye pi syuh papa- yonayah, striyo vasyas tatha sudra te `pi tanti param gatim. Artinya “ wahai putra Pritha, orang yang berlindung kepada-Ku walaupun mereka dlahirkan dalam keadaan yang lebih rendah, atau wanita, vaisya (pedagang) dan sudra (buruh)- semua dapat mencapai tujuan tertinggi.

Bhagavata Purana menyebutkan: Draupadi ca tadajnaya, patinam anapeksatam, vasudeve bhagavati, hy ekanta-matir apa tam.Artinya “ Draupadi juga melihat bahwa para suaminya pergi meninggalkan istana tanpa peduli akan dirinya. Draupadi tahu benar tentang Sri Visnu, Krisnha, personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Baik ia sendiri maupun Subhadra menjadi khusuk dalam berpikir tentang Krisnha dan mencapai hasil yang sama seperti ang dicapai suami-suami mereka. Hal ini mnandakan bahwa apa yag cipaai suami bisa pula direngkuh ole hang istri. Jadi demi menjaga kedudukan wanita yang terhormat, maka wanita harus berada dalam perlindungan.

Wanita adalah salah satu yang harus dilindungi jika terjadi perang seperti yang termuat dalam Vasistha Danur Veda 6 “ mereka yang menyelamatkan kaum Brahmana, sapi, wanita, dan anak-anak dengan mengorbankan dirinya pasti akan mencapai moksa atau kebahagiaan abadi.

Uraian-uraian di atas mengungkapkan bahwa wanita memiliki kedudukan sangat terhormat atau mulia di dalam Agama Hindu, tetapi bagaimana kenyataannya di masyarakat?

Tugas Ganda (Domestik dan Produktif)

Dalam era globalisasi ini tugas-tugas wanita semakin berat karena harus mampu mengemban tugas domestik sekaligus tugas produktif (public). Dalam mengemban tugas domestik wanita menerima pekerjaan itu sebagai sebuah karma yang harus dijalani dan berusaha berbuat sesuatu untuk memperbaiki karma berikutnya untuk dirinya dan keluarganya. Wanita yang sudah menikah akan mencurahkan perhatian pada suami dan anak-anaknya sedangkan yang belum menikah akan mencurahkan perhatiannya untuk keluarganya.. Dalam urusan domestik ini wanita selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga melaksanakan peran dalam pendidikan bagi anaknya., tidak jarang justru para bintang kelas biasanya diboyong oleh murid-murid wanita. Dalam hal ini wanita juga diharapkan mampu menempatkan diri sesuai usia putra-putrinya karena sejalan dengan bertambahnya usia dan matangnya pribadi, wanita dalam hal ini ibu harus mampu menempatkan diri setingkat remaja kalau anaknya memasuki usia remaja. Dengan demikian akan terjalin suatu komunikasi yang efektif karena seorang ibu mampu melakukan empati yaitu menjadi teman untuk anaknya sendiri.

Sebagai seorang istri, maka wanita dalam rumah tangga menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarganya. Kata Istri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari akar kata “str” yang artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita berasal dari bahasa Sanseketa “Van” artinya to be love (yang dikasihi). Dalam Mahabarata Resi Bisma mengatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta kebahagiaan. Oleh karena itu Rahwana yang menculik Dewi Sita dan Duryudana yang menghina Dewi Drupadi keduanya menjadi raja terhina.

Dalam kehidupan rumah tangga, ibu rumah tangga yang disebut Pitri matta harus dilaksanakan oleh wanita selain sebagai istri yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Dalam penyelenggaraan upacara yadnya, juga menjadi tanggung jawab dalam penyelenggaraannya di samping sebagai pelanjut keturunan.

Wanita dalam tugas di sektor produktif (public) atau berkarir selain karena faktor ekonomi untuk finansial adalah juga karena emasipasi menyebabkan wanita telah dapat mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Mereka ingin menginplementasikan ilmu yang didapatkan di dunia pendidikan dengan jalan menjalankan swadarmanya. Menurut Manawa Dharmasastra IX. 29 dalam berkarir wanita dapat memilih sebagai Sadwi atau sebagai Brahmawadini. Jikalau sebagai Sadwi artinya wanita memilih berkarir dalam rumah tangga (pekerjaan domestik) sebagai pendidik putra-putrinya dan sebagai pendamping suami. Seandainya yang dilakoni adalah sebagai Brahmawadini, maka ini berarti wanita memilih berkarir di luar rumah seperti menjadi guru/dosen, dokter, anggota legislatif, birokrat, dan bidang lainnya.

Peran ganda ini harus dijalani oleh wanita walau terasa berat, tetapi dunia tetap menanamkan harapan kepada wanita untuk bisa melahirkan dan membina generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas dan semestinya wanita dihargai karena mampu melakoni tugas ganda tersebut, bukan kekerasan yang harus diterima seperti yang sering terjadi dalam sebuah rumah tangga.

Menciptakan Keseimbangan dengan Reposisi Peran

Wanita dan laki-laki yang sudah hidup bersama untuk menyukseskan swadharma grahasta asrama berusaha membina putra menjadi suputra dan bersama-sama mengabdi untuk jagat . Perbedaan laki-laki dan wanita hanyalah pada swadarmanya. Namun perbedaan itu saling melengkapi. Kalau perbedaan itu saling disinergikan, maka berbagai kewajiban hidup ini justru akan terselenggara mernjadi lebih baik. Untuk menyukseskan swadarma wanita yang berat ini tentunya semua pihak wajib menciptakan iklim kondusif yang dapat memberikan kekuatan pada wanita untuk menghadapi tantangan hidup ke depan yang semakin kompleks. Sebagai wanita seyogyanya dapat menyeimbangkan tugas ganda tesebut atau dengan reposisi peran. Dalam reposisi peran ini tidak semua pekerjaan domestik dilakukan oleh wanita, tetapi pekerjaan itu dapat dilakukan oleh anggota keluarga yang lain. Di samping itu wanita harus tetap memperlihatkan sifat-sifat feminismenya karena Tuhan telah menganugerahkan wanita sifat-sifat itu untuk menjaga keseimbangan hubungannya dengan laki-laki. Dengan sifat yang teduh, tenang, kelembutan, kasih sayang, dan kesabaran. Merujuk pada Manawa Dharmasastra IX. 45 bahwa suami istri itu adalah sejajar dan tunggal. Keseimbangan peran laki-laki dan wanita bukan hanya dari segi finansial, tetapi juga dalam bidang pendidikan dan menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. Laki-laki bukanlah saingan, tetapi mitra kerja baik dalam rumah tangga maupun dalam karir.Melahirkan putra-putri, memelihara yang lahir dengan sebaik-baiknya, berlanjutnya peredaran dunia, wanitalah yang menjadi sumbernya (Manawa Dharmasastra IX.27

Penutup

Kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh mulia dan terhormat. Sebagaimana yang termuat di dalam Veda, Kitab Manawa Dharmasastra, maupun Bhagawad Gita menggambarkan tentang wanita sebagai benteng terakhir moralitas, wanita harus disayangi, dimana wanita dihormati, disanalah Dewa-dewa merasa senang, dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, wanita diturunkan menjadi ibu, dan laki-laki diturunkan menjadi Bapak. Untuk menjaga keudukan wanita yang terhormat ia harus mendapat perlindungan baik oleh ayahnya semasa aanak-anak, oleh suaminya di kala masa mudanya, dan oleh putra-putranya di masa tua.

Secara normatif sesuai kitab suci memang kedudukan wanita sangat terhormat, tetapi bagaimana dalam realitasnya ? Dewasa ini wanita harus mampu berperan ganda di satu sisi peran domestik dan disi lain peran publik. Menghadapi peran ganda ini wanita harus mampu mensinergikan dengan suami maupun anggota keluarga lainnya agar sama-sama bisa berjalan seimbang dan harmonis dan wanita tidak kehilangan sifat-sifat feminismenya. Untuk itulah diperlukan reposisi peran.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan di Museum Antonio Blanco Ubud pada kunjungan Siswa Pelita Harapan Jakarta tanggal 15 Oktober 2008

Penulis adalah dosen fak. Brahma Widya IHDN Dps


HIDUP MENYAMABRAYA

HIDUP DAMAI BERDAMPINGAN DALAM PANDANGAN HINDU

Oleh : Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par.

Bali yang menjadi bagian wilayah NKRI walaupun sebuah pulau kecil dengan luas 5.632, 86 km, namun memiliki penduduk yang beragam atau plural. Seiring dikembangkannya pariwisata budaya, Bali telah menjadi ikon pariwisata Indonesia. Dalam tiga pilar pembangunan Bali, pariwisata menempati posisi pertama padahal sebenarnya ada pada posisi kedua setelah pertanian dalam arti luas dan di bawahnya industri kecil. Inilah paradigma terbalik pembangunan Bali yang pada akhirnya menyebabkan ketergantungan pada industri pariwisata.

Pariwisata telah menyebabkan terjadinya diaspora. Appadurai sebagaimana dikutip Ardika (2005::18) mengatakan bahwa kehidupan di era globalisasi dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (finanscape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kabudayaan ini. Dalam era kesejagatan inilah penduduk Bali tidak lagi homogen, tetapi sudah semakin kompleks. Desa-desa seperti Kuta, Legian, Jimbaran, Bualu, dan Sanur telah menjadi desa internasional. Banyak telajakan pekarangan desa sesuai konsep palemahan dalam sistem perumahan Bali telah berubah menjadi art shop.

Bali pada masa lalu telah mengadakan relasi dengan dunia luar bahkan dengan luar nusantara bukanlah merupakan hal baru. Hubungan Bali yang disebut Po-li atau Mali dengan China telah terjadi pada abad ke-7 Masehi. Demikian pula hubungan Bali dengan India telah terjadi sejak zaman prasejarah. Masyarakat Bali telah memakai peralatan yang berasal dari India dapat dilihat dari tinggalan gerabah Arikamedu dari India Selatan yang rupanya telah berlangsung sejak awal abad Masehi.

Dalam kitab Ramayana karya Maharsi Walmiki yaitu pada Kiskenda Kanda (XL, 30) disebutkan nama Javadwipa dan Saptarajya, yang menurut Nabin Chandra Das (Widnya, 2001) Saptarajya adalah tujuh tempat, yaitu Suvarnadvipa (Sumatra), Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes), Irian Jaya ( West New Guinea), Bali, Java, dan Malaya..

Menurut Titib (2008: 2) relasi tersebut semakin kental setelah Bali berhubungan dengan India, khususnya di bidang agama dan budaya yang mengubah kepercayaan masyarakat Bali prasejarah menjadi penganut agama Hindu. Budaya Bali kini merupakan perpaduan budaya prasejarah Bali dengan budaya China dan India. Di masa penjajahan tentunya mendapat pengaruh dari budaya Eropa. Dalam seni lukis atau ukir, di Bali dikenal berbagai jenis ”patra” atau tipe daun dalam lukisan tersebut, yakni: patra Bali, patra China, patra Mesir (Arab) dan patra Welanda (Belanda) yang menunjukkan bahwa budaya Bali mampu menyerap budaya luar dan mengolahnya menjadi salah satu elemen dari budaya Bali.

Kebudayaan Bali memiliki adagium ”celebingkah beten biu, belahan pane belahan paso” artinya gumi linggah ajak liu ada kene ada keto. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai dunia yang begitu luas ada begini dan ada begitu. Kearifan lokal juga dimiliki dalam relasi dengan orang lain seperti ”sagilik saguluk salunglung sabayantaka sarpanaya”. Dengan orang Cina kita menyebutnya nyama kelihan, dengan orang Islam kita menyebutnya nyama Slam. Bahkan kalau ada krama Bali membuat acara resepsi, hidangan khusus dibuatkan untuk nyama Slam ini alias tidak menyuguhkan menu babi.

Relasi dengan negara asing pada zaman dulu dan kini Bali pun telah menjadi daerah plural karena berbagai etnik, agama, dan ras telah berbaur menjadi satu. Bagaimana menerapkan konsep menyama braya dengan hidup damai berdampingan dalam pandangan Hindu akan diuraikan berikut ini.

a. Pemetan Konflik

Bali kini yang tidak homogen lagi atau plural telah memunculkan banyak konflik. Suacana (2005:5) menyebutkan hal itu sebagai akibat negatif globalisasi terhadap agama Hindu dan budaya Bali antara lain di bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi. Akibat dampak negatif tersebut cenderung bermanifes menjadi potensi konflik sebagai berikut:

  1. Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan nonBali. Potensi ini makin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin membuat tembok pembatas antara ”kekitaan” dengan ”kemerekaan” (we-ness dengan other-ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya inmigrasi dari luar pulau Bali.

Kasus bom Bali I dan II, hilangnya pratima di pura-pura, setiap gang diisi tulisan pemulung dilarang masuk, dan sweeping terhadap krama tamiu telah menimbulkan konflik dengan para inmigrasi.

  1. Konflik antarkelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarki pun mulai menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.

  2. Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchis. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak. Kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo, hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal dengan konflik kasta.

  3. Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut Hindu tradisi yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali dan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep ”back to Veda” yang dalam bahasa sehari-hari disebut ”aliran baru”. Kristalisasi indikator kontemporer masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih. Parisada Campuhan telah melebur diri menjadi Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) sedangkan Parisada Besakih dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali yang diakui secara legal oleh pemerintah.

  4. Konflik antarkabupaten/Kota terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah ( UU No. 22 tahun 1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No.32 tahun 2004) yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan. Hal ini memunculkan adanya raja kecil di kabupaten/kota.

Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai bersama, serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang juga ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Jadi multikulturalisme adalah suatu filosofi yang mengarahkan semua pihak agar mau saling mendengar dan memahami satu sama lain, tanpa harus menanggalkan prinsip dan keyakinan pribadinya. Dengan penegakan filosofi multikulturalisme ini, maka diharapkan warga suatu negara yang heterogen bisa hidup bersama-sama meskipun berbeda etnis, agama, dan ras sehingga mereka akan dapat saling menghormati dan muncul sikap toleransi. (Nugroho, 2007:1-2).

b. Konsep Menyamabraya dalam Pandangan Hindu

Agama Hindu tidak membedakan seseorang atas agamanya, atas etnisnya, tetapi atas baik buruk perbuatannya. Agama Hindu menerima adanya keragaman agama sebagai kosekuensi banyak yoni, yaitu kelahiran yang berbeda-beda yang melahirkan adanya etnis. Setiap orang berperan dalam kehidupan ini sesuai dengan swadharmanya dan saling melengkapi satu sama lain. Ajaran Ardhanareswari mengindikasikan saling melengkapi antara peran perempuan dan laki-laki. Kasih mengasihi, tolong menolong, harga menghargai antara seseorang dengan orang lain merupakan nilai-nilai universal dalam agama Hindu.

Ajaran Catur Paramita menunjukkan hal itu yaitu: Maitri (bersahabat), Karuna ( kasih sayang kepada yang menderita ), Mudita (bergembira bila ada yang memperoleh keberuntungan), dan upeksa (toleransi).

Persahabatan sangat dijunjung yang disampaikan dalam berbagai ajaran. Yajurveda XXXVI.18 menyebutkan:

Mitrasya ma caksusa saevani bhutani samiksantam

Mitrasyaham caksusa saevani bhutani samikse

Mitrasya caksusa samiksamahe

Artinya:

Semoga semua mahluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat

Semoga saya memandang semua mahluk dengan pandangan mata seorang sahabat

Semoga kami saling berpandangan dengan pandangan mata seorang sahabat.

Pengamalan ajaran yang menghargai pluralisme multikulturalisme dan persatuan, termuat dalam sloka berikut

-Kitab Svetavatara Upanisad VI.11 menyatakan:

Eko devas sarva bhutesu gudhas

Sarva vyapi sarva bhutantaratma

Karmadhyaksas sarva bhutadivasas

Saksi ceta kevalo nirnasca

Artinya:

Satu sinar Tuhan tersembunyi (gaib) dalam setiap mahluk, meresapi jiwa seluruh insan. Dia menggerakkan dan memerintah mahluk, serta menjadi saksi abadi yang bebas dari segala sifat ciptaan-Nya.

Di dalam kitab suci Bhagavad Gita VII.21, disebutkan
Apa pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera

Di dalam kitab Atharva Veda XII. 1.45 dinyatakan

Bumi pertiwi memikul bebannya, mengalirkan sungai kemakmuran dengan ribuan cabang bagi masyarakat yang hidup dalam berbagai tradisi, budaya, bahasa, dan keyakinan. Hendaklah kamu hormat kepadanya dengan menumbuhkan penghargaan dan kecintaan yang tulus di antara mereka seperti halnya induk sapi memelihara anaknya

Kitab suci Atharva Veda III.30.1 mengingatkan
Sahridayam sam manasyam

Avidvesam krinomivah

Anyo anyam abhiryata

Vatsamjatkam ivaghnya

Artinya:

Wahai manusia, Aku telah memberimu sifat-sifat ketulus iklasan dan mentalitas yang sama serta perasaan berkawan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir. Demikianlah seharusnya engkau mencintai sesamamu.

Kesadaran persaudaran perlu ditumbuhkembangkan di intern umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya sebagai wujud solidaritas kepada sesama saudara di republik ini. Pengamalan ajaran kemanusiaan, saling menyayangi secara manusiawi tercermin dalam kitab suci berikut

Kitab suci Bhagavad Gita XII.13 menyatakan:

Hendaknya dia tidak membenci segala mahluk, bersahabat penuh kasih sayang, bebas dari egoisme dan keangkuhan, bersikap sama dalam suka dan duka serta bersifat pemaaf”.

Kitab suci Yajur Veda XI.6 menyatakan:

Berbuatlah kebaikan kepada orang lain, seperti yang engkau inginkan mereka perbuat bagi dirimu. Engkau adalah jiwa yang sama berasal dari Brahman Yang Esa. Perlakukanlah setiap orang sebagai sahabat karibmu”.

Kitab Isa Upanisad 1 berbunyi:

Isa vasyam idam sarvam

Yat kinca jagatyam jagat

Tenatyaktena bunjitha

Ma grdah hasyasvidhanam

Artinya:

Tuhan Yang Maha Esa mengisi dan mengendalikan segala yang ada di dunia ini karena itu hendaknya ia hanya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukkan baginya, serta tidak menginginkan sesuatu yang menjadi hak orang lain.

Meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis. Dengan demikian konflik antarkelompok yang laten yang berlarut-larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua mahluk adalah bersaudara (Vasudhaiva kuthumbakam) dan semua mahluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah), maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, bahkan tidak eksklusif.

Yudha Triguna (2008: 8-9) menyatakan bahwa umat Hindu dapat mengembangkan nilai kerendahan hati menjadi etik yang tidak kalah pentingnya dengan kerja sebagai yadnya. Kerendahan hati seperti ini bersumber dari mahawakya tat twam asi adalah ajaran normatif yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama mahluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekali pun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidakseimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta bertentangan dengan ajaran tat twam asi.

Kerendahan hati dan persaudaraan juga dapat dipahami pada sloka Nitisatakam (dalam Somvir, 2003:5) sebagai berikut: ”Busana” kekayaan adalah keramahan, ”Busana” orang kuat adalah ucapan halus, ”Busana” pengetahuan adalah kedamaian, ”Busana” orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati, ”Busana” tapa tidak lekas marah, ”Busana” orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain.

Dalam menjalankan tat twam asi sebagai wujud praktik dan disiplin diri sebagai sewaka dharma tidak akan berhasil kalau di dalam diri masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, dan fitnah. Semua sifat-sifat itu akan menjadi penghalang kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Kesadaran bahwa sebagai manusia juga ada kelemahannya akan mempercepat proses kesadaran diri ini. Kelemahan manusia itu antara lain: (1) Avidya yaitu kesadaran akan realitas yang cenderung melemah, (2) Asmita, yaitu keakuan yang cenderung meningkat, (3) Raga, yaitu keterikatan akan objek pesona semakin menjadi-jadi, (4) Dveua, yaitu kebencian kepada yang tidak menyenangkan, dan (5) Abhinivesa, yaitu ketakutan menghadapi kematian.

Untuk meminimalisasi konflik dapat pula dilakukan dengan membuka ruang dialog antarumat beragama untuk menumbuhkembangkan pengamalan ajaran agama yang inklusif, toleran, dan memperkuat solidaritas dan persaudaraan yang sejati antara umat beragama.

Dengan pengamalan ajaran-ajaran Hindu yang inklusif, humanis, pluralis, dan dialogis serta menjunjung prinsip shanti, maka semoga penyamabrayan antaretnis maupun antaragama akan terwujud (Ida Ayu Tary Puspa)












Penutup

Bali tidak dapat menutup diri dari dunia luar. Relasi dengan negara luar telah dimulai sejak zaman dulu. Kini apalagi telah menjadi daerah tujuan wisata internasional akan pula terjadinya diaspora di pulau kecil ini. Di lain pihak globalisasi telah pula membawa ciri tersendiri yang tidak dapat ditampik seperti adanya ethnoscape, technoscape, mediascape, dan ideoscape. Semua itu menandakan bahwa kita hidup dalam keadaan plural atau heterogen. Kemajemukan dalam masyarakat heterogen memicu pula terjadinya konflik. Akan tetapi kalau kita mampu menerapkan multikulturalisme apalagi ajaran agama (Hindu), diharapkan konflik yang pernah terjadi atau yang mungkin akan terjadi dapat diatasi. Konsep menyama braya dengan mengamalkan ajaran agama Hindu seperti tat twam asi merupakan sebuah solusi karena dengan kerendahan hati kita sadar bahwa sebenarnya kita semua di dunia ini adalah mahluk ciptaan-Nya karena kitu kita semua adalah bersaudara.