Sabtu, 28 Maret 2009

GALUNGAN :AKTUALISASIKAN DHARMA

GALUNGAN :AKTUALISASIKAN DHARMA

GALUNGAN :AKTUALISASIKAN DHARMA

OLEH: IDA AYU TARY PUSPA


Waktu terus bergerak dan berputar mengikuti hukum alam (Rta).Tiba pada bulan November tahun ini umat Hindu akan merayakan hari suci Galungan. Rangkaian upacara piodalan jagat ini diawali dari tumpek wariga, sugihan, penyekeban, penyajaan, penampahan, pemaridan guru, ulihan, pemacekan agung sampai pegat uwakan. Rangkaian upacara panjang ini merupakan simbol pendakian spiritual sekaligus pengokohan sraddha dan bakti.

Panji atau slogan galungan yang selalu melekat pada ingatan kita adalah kemenangan dharma melawan adharma. Bila dilihat secara erimologi atau arti katanya galungan berarti berperang. Secara moral peperangan itu berlangsung terus menerus sampai akhir hayat sedangkan secara ritual sudah dimulai sejak tiga hari berturut-turut sebelum galungan dirayakan yakni redite paing dungulan, soma pon dungulan sampai anggara wage dungulan. Saat itu mulai menyerang (menggoda) sang kala tiga yakni Sang Butha Galungan, Sang Butha Dungulan, dan Sang Butha Amangkurat. Godaan yang dilakukan oleh sang kala tiga itu apabila mampu dilalui itulah yang dianggap sebagai suatu kemenangan yang dirayakan pada hari buda kliwon dungulan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif “Ajeg Bali” di Bali TV pada 22 Januari 2008

Penulis adalah Dosen Fak. Brahma Widya IHDN Denpasar



Sebagai umat yang sadar bahwa peperangan selalu terjadi yang merupakan suatu dinamika kehidupan. Umat seyogyanya jangan tenggelam dalam makna ritual saja sehingga perbuatan baik (dharma) hanya dilakukan pada tiga hari itu saja padahal tujuan sejati agama Hindu adalah kebahagiaan lahir dan batin yang hendaknya diaktualisasikan setiap hari dalam wujud aktivitas baik sebagai mahkluk individu maupun sebagai mahluk sosial.

Dewasa ini manusia diperbudak oleh materialisme dan konsumerisme. Siapa pun tak luput dari lingkaran tak berujung ini sebagai produk modernisme. Uang dijadikan “dewa sekuler” jadilah pengabdian itu pada benda-benda material untuk memuaskan keinginan (kama) yang akhirnya menjadikan manusia itu serakah (loba). Keinginan yang serakah itu menjadikan manusia lupa pada hakikat dirinya yang sejatinya adalah mengabdi pada-Nya bukan sebaliknya pada benda-benda material itu. Apabila hal itu terjadi, maka cahaya diri/pancaran sinar suci Sang Atma mejadi terselubung oleh kabut awidya atau kegelapan. Jadilah manusia itu tidak hidup karena ketiadaan “sinar” Sang Atma. Oleh karena itu hidupkanlah kembali”api Sang Atma” agar kembali bersinar dan selalu ada dalam lindungan cahaya-Nya. Api itu terus menerus dikobarkan dengan harapan bahwa dharma tetap menyala dalam hati sanubari. Jadi merayakan Galungan bukan hanya sekedar rutinitas ritual semata, tetapi bagaimana kita kembali berpijak pada jalan dharma (Satyam eva Jayate).

Kita memang wajib merayakan hari suci ini sebagaimana para leluhur terdahulu sudah demikian baik melaksanakannya sehingga kita meneruskan warisan itu, tetapi jangan hanya menekankan simbol ritual saja. Secara pribadi kemenangan dharma melawan adharma itu harus terefleksi dalam sikap hidup keseharian dengan sesama. Manusia memiliki tingkat kebutuhan ( Hierarchy of human needs) yang terdiri dari kebutuhan fisik (sandang pangan, papan, kebutuhan biologis), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri yang terletak paling puncak. Nah sekarang bagaimana agar dharma itu dapat dijadikan sebagai kebutuhan untuk berbuat baik sehingga dapat diaktualisasikan secara kongkret sehingga tidak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

Manusia memang memiliki sifat-sifat baik dan buruk begitupun dengan sikap, ada yang memiliki sikap positif dan negatif. Jadi merayakan Galungan pada intinya adalah introspeksi diri. Kita harus mengenal diri kita sendiri sehingga secara jujur dan objektif kita mau mengakui bahwa kita memiliki sifat atau sikap yang negatif yang sebenarnya bisa diubah. Apalagi sikap negatif yang bukan merupakan faktor turunan. Dengan mengenal diri pribadi sendiri, maka kita akan mengetahui identitas diri, akan mengetahui bagaimana persepsi tentang diri sendiri sehingga tidak dipengaruhi pikiran orang lain mengenai kita, dan akan mengetahui apa rencana, kemauan, serta tujuan kita dalam kehidupan ini. Oleh karena itu tumbuhkanlah pada diri kita suatu motif yang kuat, jangan biarkan perkecualian terjadi sebelum kebiasaan baru mengakar pada kehidupan kita, dan berlatih pada setiap kesempatan.

Dengan demikian, maka merayakan Galungan mari tumbuhkan dan aktualisasikan sifat, sikap, perbuatan baik dan menghaturkan mahasuksmaning idep atas wara nugra Hyang Widhi yang telah memberikan bimbingan sehingga dicapai kemenganan dharma. Semoga kita selalu dapat mengikuti jalan lurus dan terang berdasarkan ajaran dharma. Di dalam lontar Sundarigama disebutkan: “Bu , Ka, Galungan, nga, patitis ikangjnana sandi, galang apadang, marya kena sarwa byaparaning idep……” Artinya: Buda Kliwon Galungan adalah yang mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar