Sabtu, 28 Maret 2009

AGAMA HINDU ADA SEPANJANG ZAMAN

Tiap agama memiliki ajaran begitupun agama Hindu. Dengan ajaran agama kita akan mengetahui untuk apa, apa tujuan, dan bagaimana cara melakoni kehidupan. Jadi agama memberikan pengetahuan kepada manusia. Kitab suci bagi umat beragama dipakai sebagai sesuluh yang harus dilaksanakan dengan baik dan yang tidak baik dijauhi bukan saja dalam berbuat termasuk dalam hal ini berpikir dan berkata.
Agama Hindu sebagai agama tertua di dunia yang dianut oleh sebagian besar etnis Bali memiliki keunikan tersendiri. Dengan tiga kerangka yang dibalut oleh Tattwa, Susila, dan Upacara menjadikan agama Hindu di Bali begitu hidup dan semarak dalam persembahan dan ekspresi estetikanya. Tak ayal Bali dijuluki sebagai living culture karena pelaksanaan ajaran agama Hindu yang tanpa henti dengan upacara baik nitya maupun naimitika karma. Dengan sujud sebagai perwujudan bakti dan karma umat Hindu di Bali melaksanakan kehidupan penuh keseimbangan antara alam sekala dan niskala sebagaimana diwariskan oleh para leluhur. Namun walaupun agama Hindu membumi di Bali pada perkembangan berikutnya ternyata manusia sebagai pelaku kehidupan tak selamanya dapat melakoninya dengan baik. Berbagai hal mempengaruhi sehingga banyak tudingan terhadap manusia Bali yang nota bena beragama Hindu telah berubah. Kemuliaan, keluhuran budi semakin menipis karena banyak peristiwa terjadi dari perkara sepele menimbulkan geger jagat Bali. Padahal secara hakiki diakui bahwa tujuan agama Hindu adalah moksartham jagadhita ya ca iti dharma yaitu kebahagiaan maupun kesejahteraan di dunia dan di akhirat.. Keduanya memang berbeda, tetapi berhubungan sangat erat karena keduanya harus diperhatikan ibarat jasmani dan rohani. .Dalam berkehidupan di panggung sandiwara ini kita tidak bisa hidup secara individual, tetapi juga membutuhkan orang lain. Dengan demikian secara sosiologis kehidupan kita juga ditentukan oleh masyarakat terutama dalam hal susilanya. Satu keunikan Bali dalam menata kehidupan masyarakatnya adalah dengan kehadiran Desa Pekraman.
Desa pekraman secara historis sebagai organisasi sosial religius telah diyakini ada sejak zaman Bali kuna yaitu sekitar abad IX-XIV Masehi. Masyarakat desa pada waktu itu disebut karaman sedangkan untuk menunjuk desa digunakan istilah manua atau banua seperti yang termuat dalam prasasti desa Trunyan.
Yang dimaksud dengan desa pekraman sesuai Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001 adalah:
”kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan yang datang ke Bali untuk menata kehidupan masyarakat Bali di desa pekraman apakah memang masing-masing sekte sedang tidak harmonis di Bali pada waktu itu? Oleh banyak pihak diyakini seperti itu. Nyatanya kita hidup sekarang ini ternyata masih pula memuja sekte-sekte tersebut. Penghormatan kita terhadap Dewa surya baik melalui surya sevana amaupun surya namaskara tetap dilakukan yang ternyata adalah Sekte Sora, Resi Gana yang dilakukan umat Hindu di parahyangan adalah pemujaan terhadap Ganapatya, termasuk caru yang dilakukan umat Hindu di Bali yang ditujukan pada Butha yadnya Walaupun diikat dalam parahyangan yaitu Pura Kahyangan Tiga dalam wilayah desa pekraman, tetapi ternyata masyarakat tetap saja hidup dalam konflik. Ambillah contoh masyarakat yang bertikai dalam memperebutkan batas desa. Kita jadi mahfum kenapa pertikaian terjadi karena setiap jengkal tanah adalah uang lebih-lebih tanah itu adalah tanah produktif. Kehadiran desa pekraman yang mengatur kehidupan masyarakat menimbulkan pula konflik pada sebagian masyarakat yang masih tetap ingin berkuasa bak seorang raja walau bila dilihat dalam kekinian ternyata di Bali maupun Indonesia bentuk pemerintahan sudah berubah ke republik. Raja- raja kecil masih tetap ada, tetapi tanpa kekuasaan. Atau ada pula segolongan yang mengklaim dirinya dari warna tertentu yang ternyata prilakunya di masyarakat tidak mencerminkan warna yang disandang, perilaku anarkis kerap dilakukan karena mereka ingin diperlakukan berbeda dari masyarakat umum lainnya dalam suatu desa pekraman.
Dalam menjalankan pemerintahan desa di wilayah desa pekraman, maka ditetapkan awig-awig untuk mengikat krama dengan patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hubungan antara krama dengan Tuhan, antarsesama krama, maupun krama dengan lingkungannya. Itu adalah sebuah awig-awig yang bagus bila ditinjau dari definisinya, tetapi bagaimana pelaksanaannya di sebuah desa pekraman? Ternyata banyak yang tidak menerapkan awig-awig justru sentimen kerap terjadi antarkrama sendiri yang dalam putusan tertentu membuat perarem yang tiba-tiba tanpa kajian mendalam penuh dengan suryak siu jadilah krama mengalami kesepekang, tidak boleh mengubur jenazah di setra, tidak boleh sembahyang ke pura kahyangan tiga. Apalagi ternyata pura kahyangan tiga diklaim sebagai kekuasaan para pinanditanya yang diberlakukan secara turun temurun. Akhirnya umat Hindu yang ingin sujud bakti menyembah manifestasi Sang Hyang Widhi yang distanakan di Pura Desa ( Dewa Brahma), di Pura Puseh (Dewa Wisu), dan di Pura Dalem (Dewa Siwa) harus minta izin kepada pinandita kahyangan itu kalau ingin bersembahyang. Dalam menjalankan aktivitas religius spiritual seperti itu umat Hindu sebagai krama Bali telah terpasung. Belum lagi permasalahan mengubur maupun ngaben yang tidak diperkenankan oleh desa pekraman bagi seseorang walaupun menjadi krama di sebuah desa pekraman. Betapa pandangan dunia tertuju pada Bali. Dalam koridor berpikir mereka bisa saja muncul kegalauan betapa susahnya menjadi orang Bali yang beragama Hindu, sampai mati pun masih terus berpikir dapat kuburan atau tidak? sehingga memunculkan pendirian krematorium Perkara ngayah juga menjadi persoalan di tengah era global ini. Zaman telah berubah yang tidak lagi ada pada zaman agraris, tetapi sudah menuju ke masyarakat industri dengan banyaknya krama Bali yang bekerja di sektor publik. Kalau tidak ngayah kena sanksi kalau terus-terusan ngayah bisa-bisa dikeluarkan dari pekerjaan. Padahal bekerja adalah kodrat manusia termasuk menyambung hidup keluarga. Ternyata kita masih terbuai masa lalu yang ingin tetap hidup seperti zaman agraris padahal realitanya kita hidup sekarang adalah di era global. Ini adalah sebuah mimpi dan simulacrum karena kita hidup dalam kepura-puraan dengan bertamsya ke masa lalu dan mengharapkan hadir kembali di masa kini. Kalau sudah demikian apakah sebuah desa pekraman menerapkan nilai-nilai Hindu dalam menjalankan roda pemerintahannya? Pasti tidak karena tidak ada nilai-nilai humanisme sesuai ajaran Hindu yang diterapkan. Yang ada hanya “Senang Melihat Orang Susah dan Susah Melihat Orang Senang” yang kalau disingkat menjadi SMS. Begitukah prilaku krama Bali yang beragama Hindu. Hindu dengan ajaran Tat Twam Asinya kalau dipahami tidak akan menimbulkan konflik karena kita meyakini dan menghayati bahwa kita berasal dari satu hal yang sama yaitu Brahman dan Vasudhaiva kutum bakam bahwa kita semua bersaudara akan memperkokoh Hindu walaupun tidak ada desa pekraman Hindu akan tetap eksis sepanjang zaman selama penganutnya menjalankan ajaran-Nya dan menjauhi larangannya karena Hindu adalah sanatana yaitu abadi. (Ida Ayu Tary Puspa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar