Sabtu, 28 Maret 2009

HIDUP MENYAMABRAYA

HIDUP DAMAI BERDAMPINGAN DALAM PANDANGAN HINDU

Oleh : Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par.

Bali yang menjadi bagian wilayah NKRI walaupun sebuah pulau kecil dengan luas 5.632, 86 km, namun memiliki penduduk yang beragam atau plural. Seiring dikembangkannya pariwisata budaya, Bali telah menjadi ikon pariwisata Indonesia. Dalam tiga pilar pembangunan Bali, pariwisata menempati posisi pertama padahal sebenarnya ada pada posisi kedua setelah pertanian dalam arti luas dan di bawahnya industri kecil. Inilah paradigma terbalik pembangunan Bali yang pada akhirnya menyebabkan ketergantungan pada industri pariwisata.

Pariwisata telah menyebabkan terjadinya diaspora. Appadurai sebagaimana dikutip Ardika (2005::18) mengatakan bahwa kehidupan di era globalisasi dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (finanscape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kabudayaan ini. Dalam era kesejagatan inilah penduduk Bali tidak lagi homogen, tetapi sudah semakin kompleks. Desa-desa seperti Kuta, Legian, Jimbaran, Bualu, dan Sanur telah menjadi desa internasional. Banyak telajakan pekarangan desa sesuai konsep palemahan dalam sistem perumahan Bali telah berubah menjadi art shop.

Bali pada masa lalu telah mengadakan relasi dengan dunia luar bahkan dengan luar nusantara bukanlah merupakan hal baru. Hubungan Bali yang disebut Po-li atau Mali dengan China telah terjadi pada abad ke-7 Masehi. Demikian pula hubungan Bali dengan India telah terjadi sejak zaman prasejarah. Masyarakat Bali telah memakai peralatan yang berasal dari India dapat dilihat dari tinggalan gerabah Arikamedu dari India Selatan yang rupanya telah berlangsung sejak awal abad Masehi.

Dalam kitab Ramayana karya Maharsi Walmiki yaitu pada Kiskenda Kanda (XL, 30) disebutkan nama Javadwipa dan Saptarajya, yang menurut Nabin Chandra Das (Widnya, 2001) Saptarajya adalah tujuh tempat, yaitu Suvarnadvipa (Sumatra), Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes), Irian Jaya ( West New Guinea), Bali, Java, dan Malaya..

Menurut Titib (2008: 2) relasi tersebut semakin kental setelah Bali berhubungan dengan India, khususnya di bidang agama dan budaya yang mengubah kepercayaan masyarakat Bali prasejarah menjadi penganut agama Hindu. Budaya Bali kini merupakan perpaduan budaya prasejarah Bali dengan budaya China dan India. Di masa penjajahan tentunya mendapat pengaruh dari budaya Eropa. Dalam seni lukis atau ukir, di Bali dikenal berbagai jenis ”patra” atau tipe daun dalam lukisan tersebut, yakni: patra Bali, patra China, patra Mesir (Arab) dan patra Welanda (Belanda) yang menunjukkan bahwa budaya Bali mampu menyerap budaya luar dan mengolahnya menjadi salah satu elemen dari budaya Bali.

Kebudayaan Bali memiliki adagium ”celebingkah beten biu, belahan pane belahan paso” artinya gumi linggah ajak liu ada kene ada keto. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai dunia yang begitu luas ada begini dan ada begitu. Kearifan lokal juga dimiliki dalam relasi dengan orang lain seperti ”sagilik saguluk salunglung sabayantaka sarpanaya”. Dengan orang Cina kita menyebutnya nyama kelihan, dengan orang Islam kita menyebutnya nyama Slam. Bahkan kalau ada krama Bali membuat acara resepsi, hidangan khusus dibuatkan untuk nyama Slam ini alias tidak menyuguhkan menu babi.

Relasi dengan negara asing pada zaman dulu dan kini Bali pun telah menjadi daerah plural karena berbagai etnik, agama, dan ras telah berbaur menjadi satu. Bagaimana menerapkan konsep menyama braya dengan hidup damai berdampingan dalam pandangan Hindu akan diuraikan berikut ini.

a. Pemetan Konflik

Bali kini yang tidak homogen lagi atau plural telah memunculkan banyak konflik. Suacana (2005:5) menyebutkan hal itu sebagai akibat negatif globalisasi terhadap agama Hindu dan budaya Bali antara lain di bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi. Akibat dampak negatif tersebut cenderung bermanifes menjadi potensi konflik sebagai berikut:

  1. Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan nonBali. Potensi ini makin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin membuat tembok pembatas antara ”kekitaan” dengan ”kemerekaan” (we-ness dengan other-ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya inmigrasi dari luar pulau Bali.

Kasus bom Bali I dan II, hilangnya pratima di pura-pura, setiap gang diisi tulisan pemulung dilarang masuk, dan sweeping terhadap krama tamiu telah menimbulkan konflik dengan para inmigrasi.

  1. Konflik antarkelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarki pun mulai menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.

  2. Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchis. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak. Kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo, hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal dengan konflik kasta.

  3. Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut Hindu tradisi yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali dan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep ”back to Veda” yang dalam bahasa sehari-hari disebut ”aliran baru”. Kristalisasi indikator kontemporer masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih. Parisada Campuhan telah melebur diri menjadi Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) sedangkan Parisada Besakih dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali yang diakui secara legal oleh pemerintah.

  4. Konflik antarkabupaten/Kota terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah ( UU No. 22 tahun 1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No.32 tahun 2004) yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan. Hal ini memunculkan adanya raja kecil di kabupaten/kota.

Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai bersama, serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang juga ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Jadi multikulturalisme adalah suatu filosofi yang mengarahkan semua pihak agar mau saling mendengar dan memahami satu sama lain, tanpa harus menanggalkan prinsip dan keyakinan pribadinya. Dengan penegakan filosofi multikulturalisme ini, maka diharapkan warga suatu negara yang heterogen bisa hidup bersama-sama meskipun berbeda etnis, agama, dan ras sehingga mereka akan dapat saling menghormati dan muncul sikap toleransi. (Nugroho, 2007:1-2).

b. Konsep Menyamabraya dalam Pandangan Hindu

Agama Hindu tidak membedakan seseorang atas agamanya, atas etnisnya, tetapi atas baik buruk perbuatannya. Agama Hindu menerima adanya keragaman agama sebagai kosekuensi banyak yoni, yaitu kelahiran yang berbeda-beda yang melahirkan adanya etnis. Setiap orang berperan dalam kehidupan ini sesuai dengan swadharmanya dan saling melengkapi satu sama lain. Ajaran Ardhanareswari mengindikasikan saling melengkapi antara peran perempuan dan laki-laki. Kasih mengasihi, tolong menolong, harga menghargai antara seseorang dengan orang lain merupakan nilai-nilai universal dalam agama Hindu.

Ajaran Catur Paramita menunjukkan hal itu yaitu: Maitri (bersahabat), Karuna ( kasih sayang kepada yang menderita ), Mudita (bergembira bila ada yang memperoleh keberuntungan), dan upeksa (toleransi).

Persahabatan sangat dijunjung yang disampaikan dalam berbagai ajaran. Yajurveda XXXVI.18 menyebutkan:

Mitrasya ma caksusa saevani bhutani samiksantam

Mitrasyaham caksusa saevani bhutani samikse

Mitrasya caksusa samiksamahe

Artinya:

Semoga semua mahluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat

Semoga saya memandang semua mahluk dengan pandangan mata seorang sahabat

Semoga kami saling berpandangan dengan pandangan mata seorang sahabat.

Pengamalan ajaran yang menghargai pluralisme multikulturalisme dan persatuan, termuat dalam sloka berikut

-Kitab Svetavatara Upanisad VI.11 menyatakan:

Eko devas sarva bhutesu gudhas

Sarva vyapi sarva bhutantaratma

Karmadhyaksas sarva bhutadivasas

Saksi ceta kevalo nirnasca

Artinya:

Satu sinar Tuhan tersembunyi (gaib) dalam setiap mahluk, meresapi jiwa seluruh insan. Dia menggerakkan dan memerintah mahluk, serta menjadi saksi abadi yang bebas dari segala sifat ciptaan-Nya.

Di dalam kitab suci Bhagavad Gita VII.21, disebutkan
Apa pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera

Di dalam kitab Atharva Veda XII. 1.45 dinyatakan

Bumi pertiwi memikul bebannya, mengalirkan sungai kemakmuran dengan ribuan cabang bagi masyarakat yang hidup dalam berbagai tradisi, budaya, bahasa, dan keyakinan. Hendaklah kamu hormat kepadanya dengan menumbuhkan penghargaan dan kecintaan yang tulus di antara mereka seperti halnya induk sapi memelihara anaknya

Kitab suci Atharva Veda III.30.1 mengingatkan
Sahridayam sam manasyam

Avidvesam krinomivah

Anyo anyam abhiryata

Vatsamjatkam ivaghnya

Artinya:

Wahai manusia, Aku telah memberimu sifat-sifat ketulus iklasan dan mentalitas yang sama serta perasaan berkawan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir. Demikianlah seharusnya engkau mencintai sesamamu.

Kesadaran persaudaran perlu ditumbuhkembangkan di intern umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya sebagai wujud solidaritas kepada sesama saudara di republik ini. Pengamalan ajaran kemanusiaan, saling menyayangi secara manusiawi tercermin dalam kitab suci berikut

Kitab suci Bhagavad Gita XII.13 menyatakan:

Hendaknya dia tidak membenci segala mahluk, bersahabat penuh kasih sayang, bebas dari egoisme dan keangkuhan, bersikap sama dalam suka dan duka serta bersifat pemaaf”.

Kitab suci Yajur Veda XI.6 menyatakan:

Berbuatlah kebaikan kepada orang lain, seperti yang engkau inginkan mereka perbuat bagi dirimu. Engkau adalah jiwa yang sama berasal dari Brahman Yang Esa. Perlakukanlah setiap orang sebagai sahabat karibmu”.

Kitab Isa Upanisad 1 berbunyi:

Isa vasyam idam sarvam

Yat kinca jagatyam jagat

Tenatyaktena bunjitha

Ma grdah hasyasvidhanam

Artinya:

Tuhan Yang Maha Esa mengisi dan mengendalikan segala yang ada di dunia ini karena itu hendaknya ia hanya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukkan baginya, serta tidak menginginkan sesuatu yang menjadi hak orang lain.

Meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis. Dengan demikian konflik antarkelompok yang laten yang berlarut-larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua mahluk adalah bersaudara (Vasudhaiva kuthumbakam) dan semua mahluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah), maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, bahkan tidak eksklusif.

Yudha Triguna (2008: 8-9) menyatakan bahwa umat Hindu dapat mengembangkan nilai kerendahan hati menjadi etik yang tidak kalah pentingnya dengan kerja sebagai yadnya. Kerendahan hati seperti ini bersumber dari mahawakya tat twam asi adalah ajaran normatif yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama mahluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekali pun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidakseimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta bertentangan dengan ajaran tat twam asi.

Kerendahan hati dan persaudaraan juga dapat dipahami pada sloka Nitisatakam (dalam Somvir, 2003:5) sebagai berikut: ”Busana” kekayaan adalah keramahan, ”Busana” orang kuat adalah ucapan halus, ”Busana” pengetahuan adalah kedamaian, ”Busana” orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati, ”Busana” tapa tidak lekas marah, ”Busana” orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain.

Dalam menjalankan tat twam asi sebagai wujud praktik dan disiplin diri sebagai sewaka dharma tidak akan berhasil kalau di dalam diri masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, dan fitnah. Semua sifat-sifat itu akan menjadi penghalang kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Kesadaran bahwa sebagai manusia juga ada kelemahannya akan mempercepat proses kesadaran diri ini. Kelemahan manusia itu antara lain: (1) Avidya yaitu kesadaran akan realitas yang cenderung melemah, (2) Asmita, yaitu keakuan yang cenderung meningkat, (3) Raga, yaitu keterikatan akan objek pesona semakin menjadi-jadi, (4) Dveua, yaitu kebencian kepada yang tidak menyenangkan, dan (5) Abhinivesa, yaitu ketakutan menghadapi kematian.

Untuk meminimalisasi konflik dapat pula dilakukan dengan membuka ruang dialog antarumat beragama untuk menumbuhkembangkan pengamalan ajaran agama yang inklusif, toleran, dan memperkuat solidaritas dan persaudaraan yang sejati antara umat beragama.

Dengan pengamalan ajaran-ajaran Hindu yang inklusif, humanis, pluralis, dan dialogis serta menjunjung prinsip shanti, maka semoga penyamabrayan antaretnis maupun antaragama akan terwujud (Ida Ayu Tary Puspa)












Penutup

Bali tidak dapat menutup diri dari dunia luar. Relasi dengan negara luar telah dimulai sejak zaman dulu. Kini apalagi telah menjadi daerah tujuan wisata internasional akan pula terjadinya diaspora di pulau kecil ini. Di lain pihak globalisasi telah pula membawa ciri tersendiri yang tidak dapat ditampik seperti adanya ethnoscape, technoscape, mediascape, dan ideoscape. Semua itu menandakan bahwa kita hidup dalam keadaan plural atau heterogen. Kemajemukan dalam masyarakat heterogen memicu pula terjadinya konflik. Akan tetapi kalau kita mampu menerapkan multikulturalisme apalagi ajaran agama (Hindu), diharapkan konflik yang pernah terjadi atau yang mungkin akan terjadi dapat diatasi. Konsep menyama braya dengan mengamalkan ajaran agama Hindu seperti tat twam asi merupakan sebuah solusi karena dengan kerendahan hati kita sadar bahwa sebenarnya kita semua di dunia ini adalah mahluk ciptaan-Nya karena kitu kita semua adalah bersaudara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar