Sabtu, 03 Juli 2010

DILEMA PEREMPUAN DAN ADAT BALI

Oleh: Ida Ayu Tay Puspa

Perempuan dalam adat Bali selalu hangat untuk diperbincangkan karena banyak hal yang menyebabkan perempuan Bali menjadi subordinasi laki-laki. Dalam hal untuk mengambil pekerjaan domestik kala masyarakat Bali masih melakoni kegiatan agraris. Geertz pernah menggambarkan bagaimana susahnya menjadi perempuan Bali bila dibandingkan dengan menjadi laki-laki Bali. Dalam penelitiannya di Bali dia melihat perempuan Bali sangat sibuk menyiapkan makanan di dapur, mengasuh anak, mencuci, membuat banten ditambah ngoopin pada tetangga yang memilki hajatan, Bagaimana dengan laki-laki Bali yang hanya memiliki pekerjaan ke sawah ? Datang dari sawah sehabis menutup aliran air, laki-laki Bali masih dapat megecel/mebombong ayam dengan teman-temannya. Inilah akhirnya yang menimbulkan cock fighting. Itu adalah gambaran masa lalu saat sebagian besar masyarakat Bali melakoni kebudayaan agrarais. Bagaimana dengan kebudayaan industri sekarang ini? Kehidupan perempuan Bali tak jauh beda apalagi selain pekerjaan domestik, maka perempuan Bali juga melakoni peran publik. Inilah gambaran yang sering membuat perempuan Bali ada di persimpangan jalan. Oleh karena semua peran-peran itu harus dapat dilakoninya, bisakah tanpa sinergi dengan laki-laki . Untuk pekerjaan domestik masih bisa dengan reposisi peran, ya kalau kita tinggal di perkotaan, bagaimana dengan di desa? masih banyak yang mengganggap kalau terjadi reposisi peran, maka sang suami kena tangkeb istrinya. Betapa pun semua orang tahu bahwa perempuan Bali adalah pekerja keras, adakah yang mereka terima sesuai pekerjaan yang dilakukan. Ternyata adat belum berpihak pada perempuan Bali karena budaya Bali mengenal sistem kekerabatan patrilineal atau purusa. Sesuai dengan sistem ini hampir seluruh tanggung jawab keluarga dan keturunannya berada di pundak purusa/laki-laki. Tanggung jawab dalam hal ini mengandung pengertian baik menyangkut kelangsungan hidup keluarga beserta keturunannya. dalam tanggung jawab ini termasuk pula pemeliharaan tempat pemujaan seperti pemerajan/sanggah dan pura. Ada pula tanggung jawab yang berkaitan dengan leluhur yang telah tiada, misalnya ngaben, nyekah, termasuk nuntun Dewa Hyang.

Tanggung jawab sosial harus pula dijalankan yaitu mekrama banjar dan mekrama desa atau menjadi anggota banjar dan desa. Konsekuensinya adalah setiap warga banjar memiliki kewajiban yang telah ditetapkan bersama terutama masalah Ketuhanan dan kemasyarakatan. Apakah perempuan Bali tidak menjalankan kewajiban itu? Perempuan Bali menjalaninya sepanjang dia masih menjadi daa/bajang (belum kawin), kewajibannya hampir sama dengan laki-laki. Oleh karena itu sebenarnya perempuan Bali pun berhak untuk mewaris. Hanya saja apabila perempuan Bali melepas daanya, maka hak mewaris itu gugur padahal andilnya demikian besar sepanjang mereka menjadi daa baik itu tanggung jawab moral, sosial tak jarang pula tanggung jawab ekonomi. Disinilah letak ketidak adilan itu. Seiring kemajuan dengan mencuatnya keadilan dan kesetaraan gender, maka atas persetujuan dengan anak laki-laki dalam sebuah keluarga, orang tua dapat memberikan jiwa dana/hibah kepada anak perempuannya. Kalau anak perempuan itu kemudian kawin jiwa dana itu akan dibawa ke rumah suaminya. Inilah yang disebut bekel nganten dan itu sepenuhnya menjadi kekuasaan si perempuan. Kalau tidak digabungkan dengan harta suaminya, maka seandainya terjadi perceraian, si perempuan/istri berhak untuk membawa jiwa dananya kembali ke rumah tuanya. Tak seorang pun yang boleh melarangnya.

Dalam hal kewajiban sosial termasuk kewajiban secara finansial perempuan Bali kini yang sudah melakoni peran ganda, tidak terlepas dari kewajiban untuk ngayah maupun ngoopin ke sesama warga banjar. Dengan demikian sebenarnya kita sebagai orang Bali sedang bertamasya ke masa lalu, meminjam istilah Baudrilard yaitu “simulacrum”. Bagaimana kita yang sedang bekerja di sektor publik mesti pula pada saat yang sama ngayah atau ngoopin? Inilah sebuah dilema yang dihadapi perempun Bali. Yang menguntungkan adalah menjadi krama tamiu karena di desa asal tetap terdaftar sebagai warga pakraman sedangkan di tempat yang baru hanya terdaftar saja di banjar/desa dinas. Dengan demikian, maka solusi yang diberikan oleh desa asal hanya dengan membayar iuran. Yang apes adalah krama yang bekerja di sektor publik dan bertempat tinggal di desa pakraman tersebut. Kepada mereka tidak diperkenankan hanya membayar iuran saja melainkan harus melakukan kewajiban sesuai warga setempat. Hal inilah terkadang menimbulkan ketidak adilan bagi krama. Memang masing-masing desa pakraman memiliki awig-awig sendiri, tetapi hendanya yang manusiawi karena zaman telah berubah. Solusi bisa diambil dengan tetap krama ngayah atau ngoopin misalnya dengan pengaturan waktu, seperti kegiatan ngayah atau ngoopin dilakukan pada pukul 06.00-07.00. Dengan demikain krama yang bekerja di sektor publik akan tenang dalam melakoni peran publiknya. Beban yang dirasakan krama juga pada pesu-pesuan yang harus dikeluarkan krama misalnya iuran banjar, iuran odalan di pura kahyangan tiga yang dalam setahun mengeluarkan iuran sebanyak 6 kali kalau odalan 1 pura adalah setiap enam bulan. Dalam hal ini desa pakraman seyogyanya dapat membantu warganya agar tidak membayar iuran toh setiap 1 tahun mendapatkan kucuran dana dari pemerintah yang terbilang tidak sedikit dan tak jarang Desa pakraman pun mendapat pasokan dari LPD setempat. Hanya terkadang kama/hasrat manuia kerap merajuk karena sebuah pura yang masih dalam keadaan bagus direnovasi sehingga akan membutuhkan biaya termasuk upacara pemlaspas dan mupuk pedagingan. Tentu hal ini akan menambah pengeluaran krama karena pasti akan ada iuran yang harus dibayarkan sehubungan dengan hal itu. Oleh karena itu itu hendaknya dalam menetapkan suatu keputusan selalu dimusyawarahkan dengan matang dan dewasa tidak dengan suryak siu sehingga hasil yang didapatkan akan menimbulkan paras paros, pekedek pekenyung bukan membuat krama terutama. perempuannya merasakan sebagai krama yang terbebani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar