Sabtu, 28 Maret 2009

KEMISKINAN DALAM PANDANGAN AGAMA HINDU

KEMISKINAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT/KEBUDAYAAN BALI DAN AGAMA


Oleh: Ida Ayu Tary Puspa

Na thwaham Kamaye Rajyam, Na Swargam napnu arbhawam kamaye Dukha thapthamam, Praninam aarrthi naasanam (Bhagawata Purana)

Artinya:

Ya Tuhan saya berdoa bukan untuk memohon kedudukan dalam kerajaan, bukan pula untuk memohon Sorga atau menjelma sebagai manusia yang hebat. Saya hanya memohon berikanlah saya kekuatan dan kesempatan untuk mengabdi pada mereka yang menderita.


Pengantar

Kemiskinan ada di sekitar kita dan menjadi masalah krusial negara-negara di dunia lebih-lebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi. Menurut Badan Pusat Statustik (BPS) sebanyak 16,7 % dari total penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi kemiskinan. Yang masuk dalam kategori itu adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari 1,55 dolar AS per hari atau setara dengan Rp 15.000.

Sebelumnya Bank Dunia melansir terdapat 108,79 juta orang atau 49 % dari total penduduk Indonesia berada dalam kondisi miskin dan rentan jadi miskin. Menurut Bank Dunia kalangan ini hidup kurang dari 2 dolar AS atau Rp 19.000 per hari. Akibat krisis global saat ini, angka kemiskinan dan pengangguran potensial naik.

Masyarakat Bali sebagai bagian masyarakat Indonesia juga mengalami hal yang sama.. Realitas ini perlu mendapat penanganan yang serius dari semua elemen masyarakat.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dalam mengentaskan kemiskinan sesuai amanat konstitusi UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jika pemerintah melalaikan masalah kemiskinan berarti pula pelanggaran terhadap konstitusi.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Penanggulangan kemiskinan menjadi keharusan bagi pemerintah karena melalui konferensi tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menghasilkan Deklarasi Milenium Development Goals (MDGs) untuk mencpai kesejahteraan penduduk tahun 2015.

MDGs telah menghasilkan delapan kesepakatan yang meliputi: (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar yang universal (pendidikan untuk semua), (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan erempuan, (4) mengurangi jumlah kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS dan penyakit lainnya, (7) menjamin kesehatan lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Muliawan, 2007). Dari delapan butir MDGs di atas, kemiskinan dan kelaparan termasuk gender dan pemberdayaan perempuan merupakan tantangan global untuk mengentaskannya termasuk untuk pemerintah Indonesia dan Bali.Pengentasan kemiskinan telah diupayakan baik oleh pemerintah Indonesia maupun Bali melalui Usaha Ekonomi Desa (UED), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (KUKESRA), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Itulah upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan terutama dari sisi ekonomi. Akan tetapi ternyata masyarakat Bali dengan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu pun tidak terlepas dari yang namanya kemiskinan baik itu kemiskinan struktural, kultural, dan rohani.


Kemiskinan dalam Masyarakat/Kebudayaan Bali dan Agama Hindu

Kemiskinan dapat didefinisikan secara luas maupun sempit. Dalam pengertian yang sederhana kemiskinan dapat diterangkan sebagai kurangnya pemilikan materi atau ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu dalam arti yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesempatan kerja dan, keterbatasan akses terhadap berbagai hal dan lain-lain.

Di Bali kehidupan antara agama Hindu dengan budaya setempat tampak bersinergi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Agama Hindu menempati posisi sebagai jiwa dan sumber nilai budaya Bali. Dinamika agama Hindu dan budaya Bali menelorkan berbagai nilai budaya dan kearifan lokal yang ditengarai mampu mengantasipasi dampak negatif globalisasi, utamanya di bidang moralitas, kemisikinan dan kebodohan, semakin berkurangnya lahan pertanian, dan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia Bali (Titib, 2006: 116).

Dewasa ini masyarakat dan kebudayaan Bali menghadapi tantangan globalisasi seperti yang dikemukakan Ardika (2005:18) dengan mengutip Appadurai dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (finanscape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Akibat sentuhan budaya global ini memunculkan terjadinya ketidakseimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi ) dan dislokasi hampir pada setiap lini kehidupan masyarakat.

Menurut Atmaja ( BP, 5 Juli 2006) bahwa ada perubahan besar dalam masyarakat Bali yakni dari masyarakat yang lebih menekankan pada kekayaan spiritual atau batiniah bergeser ke arah msyarakat yang lebih mengutamakan kekayaan materi atau lahiriah-homo hedonicus. Berkenaan dengan hal itu, maka orang yang dihargai dalam masyarakat bukan orang yang kaya secara batiniah atau mengembangkan pola hidup sederhana melainkan orang yang kaya secra materi sebagaimana tercermin pada benda-benda simbol; status sosial yang dimilikinya. Pendapat Atmaja tersebut berkenaan dengan pencurian pratima yang dilakukan oleh orang Hindu sendiri. Betapa telah terjadi kemisikinan rohani pada orang Hindu sendiri . Titib mengatakan bahwa telah terjadi kerapuhan moralitas (banalisasi) pada umat Hindu di Bali.

Orang yang miskin secara material dapat melakukan perbuatan yang menyimpang kalau ia memiliki mental yang lemah. Oleh karena kemiskinannya ia menjadi hidup tertekan dalam memenuhi kebutuhannya. Kitab Sarasamucaya berulang-ulang menyebutkan agar kemiskinan sedapat mungkin dihindari dengan jalan bekerja dan hidup lebih teratur. Dalam Sarasamucaya juga disebutkan bahwa yang dimaksud orang miskin adalah orang yang tidak pernah berdana punya, meskipun ia memiliki harta benda berlimpah ruah. Kemiskinan ini dapat digolongkan kemiskinan rohani.

Tidak ada sesuatu terjadi tanpa karma dan kehendak Tuhan. Ada beberapa sebab terjadinya kemiskinan diantaranya yang bersangkutan malas bekerja dan tidak punya ketrampilan serta wawasan. Kemiskinan ekonomi terjadi karena Sancita Karmapala, artinya kemungkinan penjelmaan terdahulu berbuat serakah. Tidak senang bekerja, tetapi loba sehingga dalam penjelamaan berikutnya menjadi miskin. Sifat kikir tidak pernah berdana punya dapat juga menimbulkan kemisikinan dalam penjelmaan berikutnya

Kemiskinan adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan itu adalah karma. Untuk mengubahnya hanya dengan karma juga. Timbulnya kemiskinan akibat dari karma buruk yang pernah dilakukan entah pada saat kehidupan sekarang atau pada kehidupan yang dulu. Kemiskinan yang dihadapi dengan pemahaman yang benar berdasarkan agama, tidak akan mendorong munculnya perbuatan adharma. Pemahaman ajaran karma pala dapat mendorong upaya-upaya melakukan karma baik berdasarkan jnana dan bhakti atau berdoa pada Tuhan.. Kemiskinan perlu dihadapi dengan kegiatan beragama yang lebih baik,

Swami Vivekananda menyatakan salah satu hal yang menjadikan akar semua kejahatan adalah kondisi orang yang miskin. Dalam kitab Sarasamucaya (280) dinyatakan bahwa orang miskin itu sama dengan orang mati seperti persembahan upakara tanpa daksina. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa betapa menderitanya bila orang miskin itu melakukan perbatan buruk dan dosa (281), apalagi orang misikin itu bodoh, miskin dan kelaparan yang menyebabkan orang meninggalkan dharma/kebajikan (291).


Kemiskinan karena Budaya Patriarki

Menurut I Nyoman Wijaya (dalam Putrawan, 2006: 11) sebenarnya telah terjadi keruntuhan budaya Bali yang salah satunya disebabkan karena kultur pareiarki yang juga merambah lingkungan politik, ekonomi termasuk agama juga disebabkan oleh budaya kapitalisme yang telah mencekoki sistem keyakinan beragama misalnya bergesernya konsep pemaknaan ajaran karmapala dari ide untuk mentransformasi diri digantikan dengan ritual megah, Tidak apa-apa melakukan tindak kejahatan yang bisa ditebus dengan upacara ngaben yang besar. Keruntuhan ini diperparah lagi dengan kelemahan orang Bali yaitu suka pamer. Dalam urusan ritual orang Bali masih kalah start dengan kompetiter lainnya. Penyebab lainnya karena tidak dipraktikkannya falsafah tapak dara atau swastika melakukan hubungan dengan . Konsep ini ideal untuk melakukan hubungan dengan Tuhan yang sepatutnya sebanding dengan waktu dan biaya layanan sosial kemanusiaan, dan lingkungan (Tri Hita Karana). Akan tetapi, ironisnya yang vertikal saja dipikirkan dan dilakukan sedangkan tindakan untuk sesama sangat kccil.

Wiana (2002:98) menambahkan tentang kemiskinan kasih sayang yang dimiliki manusia karena tidak mau memutar roda yadnya dengan adil. Sebagaimana Bhagawadgita III.16 mengajarkan agar manusia aktif memutar roda roda yadnya . Barang siapa yang tidak ikut memutar roda yadnya tersebut yang timbal balik itu sesungguhnya mereka itu adalah jahat. Untuk mengentaskan miskin perhatian dan miskin rasa keadilan pada nasib orang lain, maka dibutuhkan kepedulian dengan sesama sebagai perwujudan Tat twam asi.

Menurut Arjani ( 2007:25) pada masyarakat Bali yang senyatanya menganut sistem kekerabatan patrilinial, budaya patriarkinya masih sangat kental. Pada sistem kekerabatan seperti ini nilai anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan. Anak laki-laki yang karena kedudukannya sebagai pemikul dharma serta sebagai pewaris dan penerus keturunan (purusa) dalam keluarga, maka mereka akan merasa lebih superior dan berkuasa. Sementara itu perempuan ada pada posisi inperior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses perempuan terhadap berbagai sumber daya

Pendapat Arjani sesuai dengan Muhadjir (2005: 166) bahwa sumber permasalahan kemiskinan yang dihadapi perempuan terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin pada kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian akhirnya bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, eksploitasi, maupun kekerasan pada perempuan.

Kemiskinan perempuan di bidang pendidikan misalnya dapat dilihat dari tingkat pendidikan perempuan yang masih jauh lebih rendah daripada tingkat pendidikan laki-laki. Pada tahun 2005 angka buta huruf penduduk perempuan mencapai 5,47% sedangkan laki-laki hanya 1,62&. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor seperti adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur, perempuan tidak dinggap investasi keluarga karena setelah menikah akan menjadi milik orang lain (suaminya (Arjani, 2007:26).


Peran Negara dan Melaksanakan Dana Punya

Negara memiliki peran sangat penting dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Robert Chambers (1983) kemiskinan merupakan akibat dari pemusatan kekayaan dan kekuasaan. Pemusatan kekayaan dan kekuasaan memang merupakan sesuatu yang melekat dalam sistem politik dan ekonomi liberal. Hal itu bukan saja bertentangan pada konstitusi kita, tetapi juga bertentangan dengn ajaran Hindu. Oleh sebab itu untuk aspek strategis yang menyangkut hayat hidup orang banyak negara tetap harus menjamin bahwa kepentingan nasional dan rakyat secara keseluruhan benar-benar terlindungi

Selain negara berperan dalam mengentaskan kemiskinan, maka umat Hindu diharapkan untuk dapat melaksanakan danapunya terhadap sesama yang memerlukan. Dana punya adalah pemberian dengn tulus iklas sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran Dharma. Pemberian tersebut dapat berupa nasihat/wejangan atau petunjuk hidup, yang mampu mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik (Dharmadana), berupa pendidikan (Vidyadana), dan berupa harta benda (Arthadana) yang bertujuan untuk menolong atau menyelamatkan seseorang atau masyarakat.

Ajaran dana punya bertujuan untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan lahir batin yang akan mengantar manusia mencapai surga bahkan moksa. Jadi menurut hukum Hindu, ajaran dana punya ini wajib hukumnya, wajib dilaksanakan oleh setiap umat Hindu.

Ajaran dana punya dilandasi oleh ajaran tat twam asi , yang memandang setiap orang seperti diri kita sendiri yang memerlukan pertolongan, bantuan atau perlindungan untuk mewujudkn kebahagiaan hidup yang sejati seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda, ”Vasudhaivakutumbakam” semua mahluk adalah bersaudara. Berikut dikutipkan sloka tentang dana punya :


”Semoga kita dapat mengabdikan diri kita menjadi instrumen Tuhan yang Maha Esa dan dapat membagikan keberuntungan kita kepada orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan (Rgveda 1.15.8)


Hendaknya mereka memperoleh kekayaan dengan kejujuran dan dapat memberikan kekayaannya itu dengan kemurahan hati, mereka tentunya akan dihargai oleh masyarakat. Semogalah mereka tekun bekerja dan meyakini kerja itu sebagai bakti kepada Tuhan yang Maha Esa (Rgveda 1.15.9).


Penutup

Ajaran Hindu yang menjiwai kebudayaan Bali untuk peduli terhadap kaum miskin dan upaya terus menerus membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan merupakan ajaran yang sangat penting. Akan tetapi betapa pun kuatnya seruan untuk peduli kepada kaum miskin fungsi agama tetap sebagai seruan moral yang tidak mempunyai kekuatan memaksa. Hindu memang mewajibka dana punya, tetapi itu semua sebatas anjuran moral sehingga tidak berdampak signifikan jika tidak ditopang oleh sistem ekonomi dan sosial yang memihak kepada kaum miskin.

Budaya patrarki yang dianut masyarakat Bali telah memunculkan kemiskinan pada perempuan bukan hanya dari sektor ekonomi, tetapi juga multidimensional seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan politik, informasi, kesehatan, dan lain-lain.


KEDUDUKAN WANITA DALAM AGAMA HINDU ANTARA NORMATIF DAN REALITAS

KEDUDUKAN PEREMPUAN BALI

Oleh: Dra. I.A. Tary Puspa, S.Ag. M.Par.


Wanita mempunyai peran penting dalam sejarah peradaban. Banyak tokoh-tokoh dunia berhasil dalam karir kepemimpinannya karena wanita berada di belakangnya yang mampu memberikan inspirasi maupun spirit.Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memberikan penghargaan yang besar kepada wanita. Masyarakat melakukan pemujaan kepada Dewi yang dapat membantu kehidupan manusia di dunia ini seperti Dewi Sri, Dewi Saraswati, dan Dewi Sri Sedana. Tugas yang dilakukan para Dewi itu adalah sama dengan Dewa sesuai manifestasinya. Tidak ada upacara keagamaan yang tidak melibatkan wanita. Hal tersebut menyiratkan bahwa wanita mempunyai peran di dunia ini baik peran domestik sebagai ibu rumah tangga maupun peran publik sebagai orang yang bekerja di luar rumah. Tugas-tugas domestik memang berat, tetapi luhur dan mulia karena disanalah terletak nasib anak, keluarga, dan bangsa. Di dalam kitab suci Veda disebutkan bahwa kaum wanita harus dilindungi dalam berbagai dimesi kehidupan. Pada masa kanak-kanak wanita dilindungi oleh ayahnya, pada masa dewasa oleh suaminya, dan pada masa tua oleh putranya. Hal ini bukan menandakan wanita itu lemah. Wanita memiliki sifat-sifat feminisme yang dianugerahkan alam kepadanya dan secara adi kodrati wanita memiliki 5m yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan manepouse serta jiwanya yang halus lembut mampu melaksanakan tugas pengasuhan, pendidikan, kasih sayang, cinta kasih, kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan. Dalam memasuki era globalisasi ini semakin banyak wanita yang bekerja di sektor publik selain untuk mendapatkan finansial adalah akibat kemajuan pendidikan sehingga mereka mengimplementasikan ilmu yang didapatkan dalam langkah aktualisasi yang nyata. Disini akhirnya wanita berperan ganda di satu sisi wanita harus mampu mengemban tugas domestik dan di sisi yang lain juga harus melakoni tugas publik. Kedudukan wanita di dalam agama Hindu yang begitu terhormat secara normatif harus diterima secara realitas yang penuh kendala karena budaya ataupun adat istiadat setempat yang kadang membatasi gerak langkah wanita


Kedudukan Wanita dalam Agama Hindu

Kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh terhormat. Wanita merupakan benteng terakhir moralitas. Apabila moralitas wanita merosot, akan merosot pula moral keturunannya. Hal ini dinyatakan dalam Bhagawad gita I.40: adharmabhibavat krsna pradusyanti kula striyah strisu dustasu varsneya, jayate varna-sankarah. Artinya “ O, Krisnha, apabila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela dalam keluarga, kaum wanita dalam keluarga ternoda, dan dengan merosotnya kaum wanita, lahirlah keturunan yang tidak diinginkan, wahai putra keluarga Vrsni”.

Manawa Dharma Sastra III.55-58 menguraikan standar peraturan keluarga yang mengharuskan menghormati wanita disertai konsekuensi yang akan terjadi kalau peraturan itu tidak dipatuhi.

Pitrrbhir bhratrbhis, caitah patibhir devaraistatha

Pujya bhusayita vyasca, bahu kalyanmipsubhih

Artinya: “ Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri” (55).

Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah

Yatraitastu na pujyante, sarvastalah kriyah

Artinya: “ Dimana wanita dihormati, disanalah dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala” (56).

Sosanti jamayo yatra, vinasyatyasu tatkulam

Na sosanti tu yatraita, vardhate taddhi sarvada.

Artinya: “ Dimana warga wanitanya hidup di dalam kesedihan, kelurga itu akan cepat hancur. Tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia” (57).

Jamayo hani gehani, sapyantya patri pujitah

Tani krtyahataneva, vinasyanti samantarah.

Artinya: “ Rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib” (58).

Rsi Canakya mengatakan dalam Canakya Nitisastra 17.7 : na matur daivatam param, artinya” tidak ada dewa yang lebih patut dihormati daripada seorang ibu.

Dalam Veda disebutkan bahwa Tuhan bersabda “Wanita aku turunkan untuk menjadi ibu dan laki-laki aku turunkan untuk menjadi Bapak”. Dengan demikian, maka wanita memilikikedudukan sebagai ibu sebagai sebuah kedudukan yang terhormat karena hal itu mengalir dengan sendirinya sesuai kecenderungan sifat-sifat alam dan orang-orang suci.

Menurut pandangan ajaran Hindu wanita dan pria sama-sama diciptakan oleh Sang Hyang Widi, jadi wanita bukan dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. Hal tersebut sesuai yang termuat di dalam Manawa Dharmasastra I.32 dinyatakan bahwa wanita dan laki-laki sama-sama ciptaan Tuhan.

Dalam berkehidupan di masyarakat tidak jarang dilontarkan bahwa wanita tidak akan pernah mencapai pembebasan karena hidupnya selalu dilindungi laki-laki, ini menandakan bahwa wanita adalah mahluk yang lemah. Akan tetapi di dalam Bhagawad gita IX.37 disebutkan mam hi partha vyaparisritya ye pi syuh papa- yonayah, striyo vasyas tatha sudra te `pi tanti param gatim. Artinya “ wahai putra Pritha, orang yang berlindung kepada-Ku walaupun mereka dlahirkan dalam keadaan yang lebih rendah, atau wanita, vaisya (pedagang) dan sudra (buruh)- semua dapat mencapai tujuan tertinggi.

Bhagavata Purana menyebutkan: Draupadi ca tadajnaya, patinam anapeksatam, vasudeve bhagavati, hy ekanta-matir apa tam.Artinya “ Draupadi juga melihat bahwa para suaminya pergi meninggalkan istana tanpa peduli akan dirinya. Draupadi tahu benar tentang Sri Visnu, Krisnha, personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Baik ia sendiri maupun Subhadra menjadi khusuk dalam berpikir tentang Krisnha dan mencapai hasil yang sama seperti ang dicapai suami-suami mereka. Hal ini mnandakan bahwa apa yag cipaai suami bisa pula direngkuh ole hang istri. Jadi demi menjaga kedudukan wanita yang terhormat, maka wanita harus berada dalam perlindungan.

Wanita adalah salah satu yang harus dilindungi jika terjadi perang seperti yang termuat dalam Vasistha Danur Veda 6 “ mereka yang menyelamatkan kaum Brahmana, sapi, wanita, dan anak-anak dengan mengorbankan dirinya pasti akan mencapai moksa atau kebahagiaan abadi.

Uraian-uraian di atas mengungkapkan bahwa wanita memiliki kedudukan sangat terhormat atau mulia di dalam Agama Hindu, tetapi bagaimana kenyataannya di masyarakat?

Tugas Ganda (Domestik dan Produktif)

Dalam era globalisasi ini tugas-tugas wanita semakin berat karena harus mampu mengemban tugas domestik sekaligus tugas produktif (public). Dalam mengemban tugas domestik wanita menerima pekerjaan itu sebagai sebuah karma yang harus dijalani dan berusaha berbuat sesuatu untuk memperbaiki karma berikutnya untuk dirinya dan keluarganya. Wanita yang sudah menikah akan mencurahkan perhatian pada suami dan anak-anaknya sedangkan yang belum menikah akan mencurahkan perhatiannya untuk keluarganya.. Dalam urusan domestik ini wanita selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga melaksanakan peran dalam pendidikan bagi anaknya., tidak jarang justru para bintang kelas biasanya diboyong oleh murid-murid wanita. Dalam hal ini wanita juga diharapkan mampu menempatkan diri sesuai usia putra-putrinya karena sejalan dengan bertambahnya usia dan matangnya pribadi, wanita dalam hal ini ibu harus mampu menempatkan diri setingkat remaja kalau anaknya memasuki usia remaja. Dengan demikian akan terjalin suatu komunikasi yang efektif karena seorang ibu mampu melakukan empati yaitu menjadi teman untuk anaknya sendiri.

Sebagai seorang istri, maka wanita dalam rumah tangga menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarganya. Kata Istri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari akar kata “str” yang artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita berasal dari bahasa Sanseketa “Van” artinya to be love (yang dikasihi). Dalam Mahabarata Resi Bisma mengatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta kebahagiaan. Oleh karena itu Rahwana yang menculik Dewi Sita dan Duryudana yang menghina Dewi Drupadi keduanya menjadi raja terhina.

Dalam kehidupan rumah tangga, ibu rumah tangga yang disebut Pitri matta harus dilaksanakan oleh wanita selain sebagai istri yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Dalam penyelenggaraan upacara yadnya, juga menjadi tanggung jawab dalam penyelenggaraannya di samping sebagai pelanjut keturunan.

Wanita dalam tugas di sektor produktif (public) atau berkarir selain karena faktor ekonomi untuk finansial adalah juga karena emasipasi menyebabkan wanita telah dapat mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Mereka ingin menginplementasikan ilmu yang didapatkan di dunia pendidikan dengan jalan menjalankan swadarmanya. Menurut Manawa Dharmasastra IX. 29 dalam berkarir wanita dapat memilih sebagai Sadwi atau sebagai Brahmawadini. Jikalau sebagai Sadwi artinya wanita memilih berkarir dalam rumah tangga (pekerjaan domestik) sebagai pendidik putra-putrinya dan sebagai pendamping suami. Seandainya yang dilakoni adalah sebagai Brahmawadini, maka ini berarti wanita memilih berkarir di luar rumah seperti menjadi guru/dosen, dokter, anggota legislatif, birokrat, dan bidang lainnya.

Peran ganda ini harus dijalani oleh wanita walau terasa berat, tetapi dunia tetap menanamkan harapan kepada wanita untuk bisa melahirkan dan membina generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas dan semestinya wanita dihargai karena mampu melakoni tugas ganda tersebut, bukan kekerasan yang harus diterima seperti yang sering terjadi dalam sebuah rumah tangga.

Menciptakan Keseimbangan dengan Reposisi Peran

Wanita dan laki-laki yang sudah hidup bersama untuk menyukseskan swadharma grahasta asrama berusaha membina putra menjadi suputra dan bersama-sama mengabdi untuk jagat . Perbedaan laki-laki dan wanita hanyalah pada swadarmanya. Namun perbedaan itu saling melengkapi. Kalau perbedaan itu saling disinergikan, maka berbagai kewajiban hidup ini justru akan terselenggara mernjadi lebih baik. Untuk menyukseskan swadarma wanita yang berat ini tentunya semua pihak wajib menciptakan iklim kondusif yang dapat memberikan kekuatan pada wanita untuk menghadapi tantangan hidup ke depan yang semakin kompleks. Sebagai wanita seyogyanya dapat menyeimbangkan tugas ganda tesebut atau dengan reposisi peran. Dalam reposisi peran ini tidak semua pekerjaan domestik dilakukan oleh wanita, tetapi pekerjaan itu dapat dilakukan oleh anggota keluarga yang lain. Di samping itu wanita harus tetap memperlihatkan sifat-sifat feminismenya karena Tuhan telah menganugerahkan wanita sifat-sifat itu untuk menjaga keseimbangan hubungannya dengan laki-laki. Dengan sifat yang teduh, tenang, kelembutan, kasih sayang, dan kesabaran. Merujuk pada Manawa Dharmasastra IX. 45 bahwa suami istri itu adalah sejajar dan tunggal. Keseimbangan peran laki-laki dan wanita bukan hanya dari segi finansial, tetapi juga dalam bidang pendidikan dan menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. Laki-laki bukanlah saingan, tetapi mitra kerja baik dalam rumah tangga maupun dalam karir.Melahirkan putra-putri, memelihara yang lahir dengan sebaik-baiknya, berlanjutnya peredaran dunia, wanitalah yang menjadi sumbernya (Manawa Dharmasastra IX.27

Penutup

Kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh mulia dan terhormat. Sebagaimana yang termuat di dalam Veda, Kitab Manawa Dharmasastra, maupun Bhagawad Gita menggambarkan tentang wanita sebagai benteng terakhir moralitas, wanita harus disayangi, dimana wanita dihormati, disanalah Dewa-dewa merasa senang, dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, wanita diturunkan menjadi ibu, dan laki-laki diturunkan menjadi Bapak. Untuk menjaga keudukan wanita yang terhormat ia harus mendapat perlindungan baik oleh ayahnya semasa aanak-anak, oleh suaminya di kala masa mudanya, dan oleh putra-putranya di masa tua.

Secara normatif sesuai kitab suci memang kedudukan wanita sangat terhormat, tetapi bagaimana dalam realitasnya ? Dewasa ini wanita harus mampu berperan ganda di satu sisi peran domestik dan disi lain peran publik. Menghadapi peran ganda ini wanita harus mampu mensinergikan dengan suami maupun anggota keluarga lainnya agar sama-sama bisa berjalan seimbang dan harmonis dan wanita tidak kehilangan sifat-sifat feminismenya. Untuk itulah diperlukan reposisi peran.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan di Museum Antonio Blanco Ubud pada kunjungan Siswa Pelita Harapan Jakarta tanggal 15 Oktober 2008

Penulis adalah dosen fak. Brahma Widya IHDN Dps


HIDUP MENYAMABRAYA

HIDUP DAMAI BERDAMPINGAN DALAM PANDANGAN HINDU

Oleh : Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par.

Bali yang menjadi bagian wilayah NKRI walaupun sebuah pulau kecil dengan luas 5.632, 86 km, namun memiliki penduduk yang beragam atau plural. Seiring dikembangkannya pariwisata budaya, Bali telah menjadi ikon pariwisata Indonesia. Dalam tiga pilar pembangunan Bali, pariwisata menempati posisi pertama padahal sebenarnya ada pada posisi kedua setelah pertanian dalam arti luas dan di bawahnya industri kecil. Inilah paradigma terbalik pembangunan Bali yang pada akhirnya menyebabkan ketergantungan pada industri pariwisata.

Pariwisata telah menyebabkan terjadinya diaspora. Appadurai sebagaimana dikutip Ardika (2005::18) mengatakan bahwa kehidupan di era globalisasi dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (finanscape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kabudayaan ini. Dalam era kesejagatan inilah penduduk Bali tidak lagi homogen, tetapi sudah semakin kompleks. Desa-desa seperti Kuta, Legian, Jimbaran, Bualu, dan Sanur telah menjadi desa internasional. Banyak telajakan pekarangan desa sesuai konsep palemahan dalam sistem perumahan Bali telah berubah menjadi art shop.

Bali pada masa lalu telah mengadakan relasi dengan dunia luar bahkan dengan luar nusantara bukanlah merupakan hal baru. Hubungan Bali yang disebut Po-li atau Mali dengan China telah terjadi pada abad ke-7 Masehi. Demikian pula hubungan Bali dengan India telah terjadi sejak zaman prasejarah. Masyarakat Bali telah memakai peralatan yang berasal dari India dapat dilihat dari tinggalan gerabah Arikamedu dari India Selatan yang rupanya telah berlangsung sejak awal abad Masehi.

Dalam kitab Ramayana karya Maharsi Walmiki yaitu pada Kiskenda Kanda (XL, 30) disebutkan nama Javadwipa dan Saptarajya, yang menurut Nabin Chandra Das (Widnya, 2001) Saptarajya adalah tujuh tempat, yaitu Suvarnadvipa (Sumatra), Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes), Irian Jaya ( West New Guinea), Bali, Java, dan Malaya..

Menurut Titib (2008: 2) relasi tersebut semakin kental setelah Bali berhubungan dengan India, khususnya di bidang agama dan budaya yang mengubah kepercayaan masyarakat Bali prasejarah menjadi penganut agama Hindu. Budaya Bali kini merupakan perpaduan budaya prasejarah Bali dengan budaya China dan India. Di masa penjajahan tentunya mendapat pengaruh dari budaya Eropa. Dalam seni lukis atau ukir, di Bali dikenal berbagai jenis ”patra” atau tipe daun dalam lukisan tersebut, yakni: patra Bali, patra China, patra Mesir (Arab) dan patra Welanda (Belanda) yang menunjukkan bahwa budaya Bali mampu menyerap budaya luar dan mengolahnya menjadi salah satu elemen dari budaya Bali.

Kebudayaan Bali memiliki adagium ”celebingkah beten biu, belahan pane belahan paso” artinya gumi linggah ajak liu ada kene ada keto. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai dunia yang begitu luas ada begini dan ada begitu. Kearifan lokal juga dimiliki dalam relasi dengan orang lain seperti ”sagilik saguluk salunglung sabayantaka sarpanaya”. Dengan orang Cina kita menyebutnya nyama kelihan, dengan orang Islam kita menyebutnya nyama Slam. Bahkan kalau ada krama Bali membuat acara resepsi, hidangan khusus dibuatkan untuk nyama Slam ini alias tidak menyuguhkan menu babi.

Relasi dengan negara asing pada zaman dulu dan kini Bali pun telah menjadi daerah plural karena berbagai etnik, agama, dan ras telah berbaur menjadi satu. Bagaimana menerapkan konsep menyama braya dengan hidup damai berdampingan dalam pandangan Hindu akan diuraikan berikut ini.

a. Pemetan Konflik

Bali kini yang tidak homogen lagi atau plural telah memunculkan banyak konflik. Suacana (2005:5) menyebutkan hal itu sebagai akibat negatif globalisasi terhadap agama Hindu dan budaya Bali antara lain di bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi. Akibat dampak negatif tersebut cenderung bermanifes menjadi potensi konflik sebagai berikut:

  1. Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan nonBali. Potensi ini makin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin membuat tembok pembatas antara ”kekitaan” dengan ”kemerekaan” (we-ness dengan other-ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya inmigrasi dari luar pulau Bali.

Kasus bom Bali I dan II, hilangnya pratima di pura-pura, setiap gang diisi tulisan pemulung dilarang masuk, dan sweeping terhadap krama tamiu telah menimbulkan konflik dengan para inmigrasi.

  1. Konflik antarkelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarki pun mulai menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.

  2. Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchis. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak. Kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo, hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal dengan konflik kasta.

  3. Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut Hindu tradisi yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali dan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep ”back to Veda” yang dalam bahasa sehari-hari disebut ”aliran baru”. Kristalisasi indikator kontemporer masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih. Parisada Campuhan telah melebur diri menjadi Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) sedangkan Parisada Besakih dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali yang diakui secara legal oleh pemerintah.

  4. Konflik antarkabupaten/Kota terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah ( UU No. 22 tahun 1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No.32 tahun 2004) yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan. Hal ini memunculkan adanya raja kecil di kabupaten/kota.

Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai bersama, serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang juga ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Jadi multikulturalisme adalah suatu filosofi yang mengarahkan semua pihak agar mau saling mendengar dan memahami satu sama lain, tanpa harus menanggalkan prinsip dan keyakinan pribadinya. Dengan penegakan filosofi multikulturalisme ini, maka diharapkan warga suatu negara yang heterogen bisa hidup bersama-sama meskipun berbeda etnis, agama, dan ras sehingga mereka akan dapat saling menghormati dan muncul sikap toleransi. (Nugroho, 2007:1-2).

b. Konsep Menyamabraya dalam Pandangan Hindu

Agama Hindu tidak membedakan seseorang atas agamanya, atas etnisnya, tetapi atas baik buruk perbuatannya. Agama Hindu menerima adanya keragaman agama sebagai kosekuensi banyak yoni, yaitu kelahiran yang berbeda-beda yang melahirkan adanya etnis. Setiap orang berperan dalam kehidupan ini sesuai dengan swadharmanya dan saling melengkapi satu sama lain. Ajaran Ardhanareswari mengindikasikan saling melengkapi antara peran perempuan dan laki-laki. Kasih mengasihi, tolong menolong, harga menghargai antara seseorang dengan orang lain merupakan nilai-nilai universal dalam agama Hindu.

Ajaran Catur Paramita menunjukkan hal itu yaitu: Maitri (bersahabat), Karuna ( kasih sayang kepada yang menderita ), Mudita (bergembira bila ada yang memperoleh keberuntungan), dan upeksa (toleransi).

Persahabatan sangat dijunjung yang disampaikan dalam berbagai ajaran. Yajurveda XXXVI.18 menyebutkan:

Mitrasya ma caksusa saevani bhutani samiksantam

Mitrasyaham caksusa saevani bhutani samikse

Mitrasya caksusa samiksamahe

Artinya:

Semoga semua mahluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat

Semoga saya memandang semua mahluk dengan pandangan mata seorang sahabat

Semoga kami saling berpandangan dengan pandangan mata seorang sahabat.

Pengamalan ajaran yang menghargai pluralisme multikulturalisme dan persatuan, termuat dalam sloka berikut

-Kitab Svetavatara Upanisad VI.11 menyatakan:

Eko devas sarva bhutesu gudhas

Sarva vyapi sarva bhutantaratma

Karmadhyaksas sarva bhutadivasas

Saksi ceta kevalo nirnasca

Artinya:

Satu sinar Tuhan tersembunyi (gaib) dalam setiap mahluk, meresapi jiwa seluruh insan. Dia menggerakkan dan memerintah mahluk, serta menjadi saksi abadi yang bebas dari segala sifat ciptaan-Nya.

Di dalam kitab suci Bhagavad Gita VII.21, disebutkan
Apa pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera

Di dalam kitab Atharva Veda XII. 1.45 dinyatakan

Bumi pertiwi memikul bebannya, mengalirkan sungai kemakmuran dengan ribuan cabang bagi masyarakat yang hidup dalam berbagai tradisi, budaya, bahasa, dan keyakinan. Hendaklah kamu hormat kepadanya dengan menumbuhkan penghargaan dan kecintaan yang tulus di antara mereka seperti halnya induk sapi memelihara anaknya

Kitab suci Atharva Veda III.30.1 mengingatkan
Sahridayam sam manasyam

Avidvesam krinomivah

Anyo anyam abhiryata

Vatsamjatkam ivaghnya

Artinya:

Wahai manusia, Aku telah memberimu sifat-sifat ketulus iklasan dan mentalitas yang sama serta perasaan berkawan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir. Demikianlah seharusnya engkau mencintai sesamamu.

Kesadaran persaudaran perlu ditumbuhkembangkan di intern umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya sebagai wujud solidaritas kepada sesama saudara di republik ini. Pengamalan ajaran kemanusiaan, saling menyayangi secara manusiawi tercermin dalam kitab suci berikut

Kitab suci Bhagavad Gita XII.13 menyatakan:

Hendaknya dia tidak membenci segala mahluk, bersahabat penuh kasih sayang, bebas dari egoisme dan keangkuhan, bersikap sama dalam suka dan duka serta bersifat pemaaf”.

Kitab suci Yajur Veda XI.6 menyatakan:

Berbuatlah kebaikan kepada orang lain, seperti yang engkau inginkan mereka perbuat bagi dirimu. Engkau adalah jiwa yang sama berasal dari Brahman Yang Esa. Perlakukanlah setiap orang sebagai sahabat karibmu”.

Kitab Isa Upanisad 1 berbunyi:

Isa vasyam idam sarvam

Yat kinca jagatyam jagat

Tenatyaktena bunjitha

Ma grdah hasyasvidhanam

Artinya:

Tuhan Yang Maha Esa mengisi dan mengendalikan segala yang ada di dunia ini karena itu hendaknya ia hanya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukkan baginya, serta tidak menginginkan sesuatu yang menjadi hak orang lain.

Meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis. Dengan demikian konflik antarkelompok yang laten yang berlarut-larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua mahluk adalah bersaudara (Vasudhaiva kuthumbakam) dan semua mahluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah), maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, bahkan tidak eksklusif.

Yudha Triguna (2008: 8-9) menyatakan bahwa umat Hindu dapat mengembangkan nilai kerendahan hati menjadi etik yang tidak kalah pentingnya dengan kerja sebagai yadnya. Kerendahan hati seperti ini bersumber dari mahawakya tat twam asi adalah ajaran normatif yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama mahluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekali pun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidakseimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta bertentangan dengan ajaran tat twam asi.

Kerendahan hati dan persaudaraan juga dapat dipahami pada sloka Nitisatakam (dalam Somvir, 2003:5) sebagai berikut: ”Busana” kekayaan adalah keramahan, ”Busana” orang kuat adalah ucapan halus, ”Busana” pengetahuan adalah kedamaian, ”Busana” orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati, ”Busana” tapa tidak lekas marah, ”Busana” orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain.

Dalam menjalankan tat twam asi sebagai wujud praktik dan disiplin diri sebagai sewaka dharma tidak akan berhasil kalau di dalam diri masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, dan fitnah. Semua sifat-sifat itu akan menjadi penghalang kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Kesadaran bahwa sebagai manusia juga ada kelemahannya akan mempercepat proses kesadaran diri ini. Kelemahan manusia itu antara lain: (1) Avidya yaitu kesadaran akan realitas yang cenderung melemah, (2) Asmita, yaitu keakuan yang cenderung meningkat, (3) Raga, yaitu keterikatan akan objek pesona semakin menjadi-jadi, (4) Dveua, yaitu kebencian kepada yang tidak menyenangkan, dan (5) Abhinivesa, yaitu ketakutan menghadapi kematian.

Untuk meminimalisasi konflik dapat pula dilakukan dengan membuka ruang dialog antarumat beragama untuk menumbuhkembangkan pengamalan ajaran agama yang inklusif, toleran, dan memperkuat solidaritas dan persaudaraan yang sejati antara umat beragama.

Dengan pengamalan ajaran-ajaran Hindu yang inklusif, humanis, pluralis, dan dialogis serta menjunjung prinsip shanti, maka semoga penyamabrayan antaretnis maupun antaragama akan terwujud (Ida Ayu Tary Puspa)












Penutup

Bali tidak dapat menutup diri dari dunia luar. Relasi dengan negara luar telah dimulai sejak zaman dulu. Kini apalagi telah menjadi daerah tujuan wisata internasional akan pula terjadinya diaspora di pulau kecil ini. Di lain pihak globalisasi telah pula membawa ciri tersendiri yang tidak dapat ditampik seperti adanya ethnoscape, technoscape, mediascape, dan ideoscape. Semua itu menandakan bahwa kita hidup dalam keadaan plural atau heterogen. Kemajemukan dalam masyarakat heterogen memicu pula terjadinya konflik. Akan tetapi kalau kita mampu menerapkan multikulturalisme apalagi ajaran agama (Hindu), diharapkan konflik yang pernah terjadi atau yang mungkin akan terjadi dapat diatasi. Konsep menyama braya dengan mengamalkan ajaran agama Hindu seperti tat twam asi merupakan sebuah solusi karena dengan kerendahan hati kita sadar bahwa sebenarnya kita semua di dunia ini adalah mahluk ciptaan-Nya karena kitu kita semua adalah bersaudara.

AGAMA HINDU ADA SEPANJANG ZAMAN

Tiap agama memiliki ajaran begitupun agama Hindu. Dengan ajaran agama kita akan mengetahui untuk apa, apa tujuan, dan bagaimana cara melakoni kehidupan. Jadi agama memberikan pengetahuan kepada manusia. Kitab suci bagi umat beragama dipakai sebagai sesuluh yang harus dilaksanakan dengan baik dan yang tidak baik dijauhi bukan saja dalam berbuat termasuk dalam hal ini berpikir dan berkata.
Agama Hindu sebagai agama tertua di dunia yang dianut oleh sebagian besar etnis Bali memiliki keunikan tersendiri. Dengan tiga kerangka yang dibalut oleh Tattwa, Susila, dan Upacara menjadikan agama Hindu di Bali begitu hidup dan semarak dalam persembahan dan ekspresi estetikanya. Tak ayal Bali dijuluki sebagai living culture karena pelaksanaan ajaran agama Hindu yang tanpa henti dengan upacara baik nitya maupun naimitika karma. Dengan sujud sebagai perwujudan bakti dan karma umat Hindu di Bali melaksanakan kehidupan penuh keseimbangan antara alam sekala dan niskala sebagaimana diwariskan oleh para leluhur. Namun walaupun agama Hindu membumi di Bali pada perkembangan berikutnya ternyata manusia sebagai pelaku kehidupan tak selamanya dapat melakoninya dengan baik. Berbagai hal mempengaruhi sehingga banyak tudingan terhadap manusia Bali yang nota bena beragama Hindu telah berubah. Kemuliaan, keluhuran budi semakin menipis karena banyak peristiwa terjadi dari perkara sepele menimbulkan geger jagat Bali. Padahal secara hakiki diakui bahwa tujuan agama Hindu adalah moksartham jagadhita ya ca iti dharma yaitu kebahagiaan maupun kesejahteraan di dunia dan di akhirat.. Keduanya memang berbeda, tetapi berhubungan sangat erat karena keduanya harus diperhatikan ibarat jasmani dan rohani. .Dalam berkehidupan di panggung sandiwara ini kita tidak bisa hidup secara individual, tetapi juga membutuhkan orang lain. Dengan demikian secara sosiologis kehidupan kita juga ditentukan oleh masyarakat terutama dalam hal susilanya. Satu keunikan Bali dalam menata kehidupan masyarakatnya adalah dengan kehadiran Desa Pekraman.
Desa pekraman secara historis sebagai organisasi sosial religius telah diyakini ada sejak zaman Bali kuna yaitu sekitar abad IX-XIV Masehi. Masyarakat desa pada waktu itu disebut karaman sedangkan untuk menunjuk desa digunakan istilah manua atau banua seperti yang termuat dalam prasasti desa Trunyan.
Yang dimaksud dengan desa pekraman sesuai Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001 adalah:
”kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan yang datang ke Bali untuk menata kehidupan masyarakat Bali di desa pekraman apakah memang masing-masing sekte sedang tidak harmonis di Bali pada waktu itu? Oleh banyak pihak diyakini seperti itu. Nyatanya kita hidup sekarang ini ternyata masih pula memuja sekte-sekte tersebut. Penghormatan kita terhadap Dewa surya baik melalui surya sevana amaupun surya namaskara tetap dilakukan yang ternyata adalah Sekte Sora, Resi Gana yang dilakukan umat Hindu di parahyangan adalah pemujaan terhadap Ganapatya, termasuk caru yang dilakukan umat Hindu di Bali yang ditujukan pada Butha yadnya Walaupun diikat dalam parahyangan yaitu Pura Kahyangan Tiga dalam wilayah desa pekraman, tetapi ternyata masyarakat tetap saja hidup dalam konflik. Ambillah contoh masyarakat yang bertikai dalam memperebutkan batas desa. Kita jadi mahfum kenapa pertikaian terjadi karena setiap jengkal tanah adalah uang lebih-lebih tanah itu adalah tanah produktif. Kehadiran desa pekraman yang mengatur kehidupan masyarakat menimbulkan pula konflik pada sebagian masyarakat yang masih tetap ingin berkuasa bak seorang raja walau bila dilihat dalam kekinian ternyata di Bali maupun Indonesia bentuk pemerintahan sudah berubah ke republik. Raja- raja kecil masih tetap ada, tetapi tanpa kekuasaan. Atau ada pula segolongan yang mengklaim dirinya dari warna tertentu yang ternyata prilakunya di masyarakat tidak mencerminkan warna yang disandang, perilaku anarkis kerap dilakukan karena mereka ingin diperlakukan berbeda dari masyarakat umum lainnya dalam suatu desa pekraman.
Dalam menjalankan pemerintahan desa di wilayah desa pekraman, maka ditetapkan awig-awig untuk mengikat krama dengan patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hubungan antara krama dengan Tuhan, antarsesama krama, maupun krama dengan lingkungannya. Itu adalah sebuah awig-awig yang bagus bila ditinjau dari definisinya, tetapi bagaimana pelaksanaannya di sebuah desa pekraman? Ternyata banyak yang tidak menerapkan awig-awig justru sentimen kerap terjadi antarkrama sendiri yang dalam putusan tertentu membuat perarem yang tiba-tiba tanpa kajian mendalam penuh dengan suryak siu jadilah krama mengalami kesepekang, tidak boleh mengubur jenazah di setra, tidak boleh sembahyang ke pura kahyangan tiga. Apalagi ternyata pura kahyangan tiga diklaim sebagai kekuasaan para pinanditanya yang diberlakukan secara turun temurun. Akhirnya umat Hindu yang ingin sujud bakti menyembah manifestasi Sang Hyang Widhi yang distanakan di Pura Desa ( Dewa Brahma), di Pura Puseh (Dewa Wisu), dan di Pura Dalem (Dewa Siwa) harus minta izin kepada pinandita kahyangan itu kalau ingin bersembahyang. Dalam menjalankan aktivitas religius spiritual seperti itu umat Hindu sebagai krama Bali telah terpasung. Belum lagi permasalahan mengubur maupun ngaben yang tidak diperkenankan oleh desa pekraman bagi seseorang walaupun menjadi krama di sebuah desa pekraman. Betapa pandangan dunia tertuju pada Bali. Dalam koridor berpikir mereka bisa saja muncul kegalauan betapa susahnya menjadi orang Bali yang beragama Hindu, sampai mati pun masih terus berpikir dapat kuburan atau tidak? sehingga memunculkan pendirian krematorium Perkara ngayah juga menjadi persoalan di tengah era global ini. Zaman telah berubah yang tidak lagi ada pada zaman agraris, tetapi sudah menuju ke masyarakat industri dengan banyaknya krama Bali yang bekerja di sektor publik. Kalau tidak ngayah kena sanksi kalau terus-terusan ngayah bisa-bisa dikeluarkan dari pekerjaan. Padahal bekerja adalah kodrat manusia termasuk menyambung hidup keluarga. Ternyata kita masih terbuai masa lalu yang ingin tetap hidup seperti zaman agraris padahal realitanya kita hidup sekarang adalah di era global. Ini adalah sebuah mimpi dan simulacrum karena kita hidup dalam kepura-puraan dengan bertamsya ke masa lalu dan mengharapkan hadir kembali di masa kini. Kalau sudah demikian apakah sebuah desa pekraman menerapkan nilai-nilai Hindu dalam menjalankan roda pemerintahannya? Pasti tidak karena tidak ada nilai-nilai humanisme sesuai ajaran Hindu yang diterapkan. Yang ada hanya “Senang Melihat Orang Susah dan Susah Melihat Orang Senang” yang kalau disingkat menjadi SMS. Begitukah prilaku krama Bali yang beragama Hindu. Hindu dengan ajaran Tat Twam Asinya kalau dipahami tidak akan menimbulkan konflik karena kita meyakini dan menghayati bahwa kita berasal dari satu hal yang sama yaitu Brahman dan Vasudhaiva kutum bakam bahwa kita semua bersaudara akan memperkokoh Hindu walaupun tidak ada desa pekraman Hindu akan tetap eksis sepanjang zaman selama penganutnya menjalankan ajaran-Nya dan menjauhi larangannya karena Hindu adalah sanatana yaitu abadi. (Ida Ayu Tary Puspa)

GALUNGAN :AKTUALISASIKAN DHARMA

GALUNGAN :AKTUALISASIKAN DHARMA

GALUNGAN :AKTUALISASIKAN DHARMA

OLEH: IDA AYU TARY PUSPA


Waktu terus bergerak dan berputar mengikuti hukum alam (Rta).Tiba pada bulan November tahun ini umat Hindu akan merayakan hari suci Galungan. Rangkaian upacara piodalan jagat ini diawali dari tumpek wariga, sugihan, penyekeban, penyajaan, penampahan, pemaridan guru, ulihan, pemacekan agung sampai pegat uwakan. Rangkaian upacara panjang ini merupakan simbol pendakian spiritual sekaligus pengokohan sraddha dan bakti.

Panji atau slogan galungan yang selalu melekat pada ingatan kita adalah kemenangan dharma melawan adharma. Bila dilihat secara erimologi atau arti katanya galungan berarti berperang. Secara moral peperangan itu berlangsung terus menerus sampai akhir hayat sedangkan secara ritual sudah dimulai sejak tiga hari berturut-turut sebelum galungan dirayakan yakni redite paing dungulan, soma pon dungulan sampai anggara wage dungulan. Saat itu mulai menyerang (menggoda) sang kala tiga yakni Sang Butha Galungan, Sang Butha Dungulan, dan Sang Butha Amangkurat. Godaan yang dilakukan oleh sang kala tiga itu apabila mampu dilalui itulah yang dianggap sebagai suatu kemenangan yang dirayakan pada hari buda kliwon dungulan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif “Ajeg Bali” di Bali TV pada 22 Januari 2008

Penulis adalah Dosen Fak. Brahma Widya IHDN Denpasar



Sebagai umat yang sadar bahwa peperangan selalu terjadi yang merupakan suatu dinamika kehidupan. Umat seyogyanya jangan tenggelam dalam makna ritual saja sehingga perbuatan baik (dharma) hanya dilakukan pada tiga hari itu saja padahal tujuan sejati agama Hindu adalah kebahagiaan lahir dan batin yang hendaknya diaktualisasikan setiap hari dalam wujud aktivitas baik sebagai mahkluk individu maupun sebagai mahluk sosial.

Dewasa ini manusia diperbudak oleh materialisme dan konsumerisme. Siapa pun tak luput dari lingkaran tak berujung ini sebagai produk modernisme. Uang dijadikan “dewa sekuler” jadilah pengabdian itu pada benda-benda material untuk memuaskan keinginan (kama) yang akhirnya menjadikan manusia itu serakah (loba). Keinginan yang serakah itu menjadikan manusia lupa pada hakikat dirinya yang sejatinya adalah mengabdi pada-Nya bukan sebaliknya pada benda-benda material itu. Apabila hal itu terjadi, maka cahaya diri/pancaran sinar suci Sang Atma mejadi terselubung oleh kabut awidya atau kegelapan. Jadilah manusia itu tidak hidup karena ketiadaan “sinar” Sang Atma. Oleh karena itu hidupkanlah kembali”api Sang Atma” agar kembali bersinar dan selalu ada dalam lindungan cahaya-Nya. Api itu terus menerus dikobarkan dengan harapan bahwa dharma tetap menyala dalam hati sanubari. Jadi merayakan Galungan bukan hanya sekedar rutinitas ritual semata, tetapi bagaimana kita kembali berpijak pada jalan dharma (Satyam eva Jayate).

Kita memang wajib merayakan hari suci ini sebagaimana para leluhur terdahulu sudah demikian baik melaksanakannya sehingga kita meneruskan warisan itu, tetapi jangan hanya menekankan simbol ritual saja. Secara pribadi kemenangan dharma melawan adharma itu harus terefleksi dalam sikap hidup keseharian dengan sesama. Manusia memiliki tingkat kebutuhan ( Hierarchy of human needs) yang terdiri dari kebutuhan fisik (sandang pangan, papan, kebutuhan biologis), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri yang terletak paling puncak. Nah sekarang bagaimana agar dharma itu dapat dijadikan sebagai kebutuhan untuk berbuat baik sehingga dapat diaktualisasikan secara kongkret sehingga tidak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

Manusia memang memiliki sifat-sifat baik dan buruk begitupun dengan sikap, ada yang memiliki sikap positif dan negatif. Jadi merayakan Galungan pada intinya adalah introspeksi diri. Kita harus mengenal diri kita sendiri sehingga secara jujur dan objektif kita mau mengakui bahwa kita memiliki sifat atau sikap yang negatif yang sebenarnya bisa diubah. Apalagi sikap negatif yang bukan merupakan faktor turunan. Dengan mengenal diri pribadi sendiri, maka kita akan mengetahui identitas diri, akan mengetahui bagaimana persepsi tentang diri sendiri sehingga tidak dipengaruhi pikiran orang lain mengenai kita, dan akan mengetahui apa rencana, kemauan, serta tujuan kita dalam kehidupan ini. Oleh karena itu tumbuhkanlah pada diri kita suatu motif yang kuat, jangan biarkan perkecualian terjadi sebelum kebiasaan baru mengakar pada kehidupan kita, dan berlatih pada setiap kesempatan.

Dengan demikian, maka merayakan Galungan mari tumbuhkan dan aktualisasikan sifat, sikap, perbuatan baik dan menghaturkan mahasuksmaning idep atas wara nugra Hyang Widhi yang telah memberikan bimbingan sehingga dicapai kemenganan dharma. Semoga kita selalu dapat mengikuti jalan lurus dan terang berdasarkan ajaran dharma. Di dalam lontar Sundarigama disebutkan: “Bu , Ka, Galungan, nga, patitis ikangjnana sandi, galang apadang, marya kena sarwa byaparaning idep……” Artinya: Buda Kliwon Galungan adalah yang mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran.